Dari Birokrasi Angker Ke Customer-friendly

Centrelink, yang diluncurkan tahun 1997, merupakan perwujudan janji politik partai konservatif yang menang pemilu ketika itu. Tujuannya tak lain untuk menyediakan layanan satu-atap bagi 6,5 juta warga Australia, yang berhak mendapatkan tunjangan sosial. Australia sendiri berpenduduk sekitar 20 juta jiwa. Sebelum Centrelink didirikan, sebenarnya sudah ada sejumlah institusi pemerintah yang bertanggung jawab mendistribusikan tunjangan. Namun, hanya dua yang mendominasi ranah kesejahteraan sosial Australia, yakni Department of Social Services (DSS) dan Department of Employment, Education, Training and Youth Affairs (DEETYA).

Layaknya sebuah birokrasi pemerintahan, kedua institusi ini terbilang “gemuk.” DSS misalnya, mempekerjakan lebih dari 20.000 karyawan, sebagian besar ditempatkan di sekitar 300 kantor-kantor regional yang tersebar di seluruh negeri. Sementara, DEETYA mempekerjakan sekitar 12.000 orang dan memiliki jaringan 290 kantor lapangan. Tugas utamanya: membantu pengangguran mencari pekerjaan.

Biasanya, sebuah kantor regional menaungi sekitar 65 karyawan. Setiap harinya, mereka harus melayani berbagai macam klaim dan permohonan dari ratusan warga. Proses pengurusannya agak berbelit-belit. Mula-mula, seorang customer harus mengisi sebuah formulir dan kemudian menghadap ke petugas DSS, yang akan memeriksa kelengkapan dan keakuratan isian formulir tersebut. Banyak yang mengeluhkan bahwa proses itu mirip interogasi ketimbang tatap muka.

Masalahnya tak berhenti sampai di situ. Setelah formulir terisi lengkap dan akurat, keputusan apakah pemohon layak mendapatkan tunjangan – dan kalau layak berapa besar yang akan didapatkan – tidak langsung dibuat saat itu juga. Pertama, seorang “petugas penilai” akan memeriksa aplikasi untuk menentukan kelayakan pemohon. Lolos dari sarang macan, proses berlanjut ke seorang “petugas penentu”, yang akan memeriksa dan menyetujui atau tidak “keputusan” petugas penilai.

Prosesnya memang panjang. Seorang pemohon baru biasanya harus datang beberapa kali, karena jarang yang bisa memperoleh seluruh informasi dalam kunjungan pertama. Nah, dalam kasus jenis klaim dan permohonan yang lebih kompleks, proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Di tanah air, proses birokrasi semacam itu sudah biasa, bahkan termasuk “proses yang tidak rumit.” Namun, di negeri demokrasi barat dan makmur semacam Australia, hal ini termasuk mengganggu, kalau tidak boleh dibilang aib. Upaya rasionalisasi dan pembenahan bukannya tidak pernah dilakukan. Tapi selalu terbentur masalah klasik, yang rasanya cukup janggal jika terjadi di negara maju, yakni rivalitas antar badan pemerintahan itu sendiri, khususnya antara DSS dan DEETYA.

Lucunya, di masa-masa awal pemerintahan PM John Howard tahun 1996, masalah rasionalisasi dan rivalitas itu cukup diselesaikan oleh tiga eksekutif pemerintahan senior. Hanya dalam waktu 15 menit dicapai kesepakatan untuk menggabungkan layanan yang diberikan kedua badan tersebut dan beralih ke pendekatan e-business untuk memperbaik proses distribusi tunjangan sosial secara menyeluruh.

Entitas layanan publik baru itu pun resmi dinamakan Centrelink. Pada awalnya, badan ini hanya bertanggung jawab menyalurkan tunjangan-tunjangan yang diberikan DSS dan DEETYA. Namun, dalam perjalanannya, Centrelink pun memroses berbagai pembayaran untuk 20 badan federal maupun pemerintahan negara bagian.

Tak pelak, pembentukan one-stop shop untuk layanan sosial ini pun menimbulkan semacam “gegar budaya” dan perubahan budaya kerja yang cukup drastis. Ribuan karyawan dari dua departemen pemerintahan harus digabung secara serentak. Kantor-kantor layanan yang dulu dikenal dengan antrian panjangnya, lingkungan yang tidak ramah dan jam kerja terbatas, tiba-tiba diharapkan menjadi customer-friendly . Dan, semua ini harus diwujudkan dalam jangka waktu lima tahun.

CEO Centrelink, Susan Vardon, mempercayakan tugas berat itu ke Jane Treadwell. Bagi Vardon, Treadwell memang bukan orang asing, karena cukup lama malang melintang di sektor layanan publik Australia. Ia pernah bekerja sama dengan Vardon membenahi pengelolaan lembaga pemasyarakatan di negeri itu, ketika duo ini sama-sama mengemban tugas di Department of Correctional Service.

Uniknya, sebagai eksekutif yang memangku jabatan tertinggi untuk bidang TI, yakni chief information officer (CIO), Treadwell justru sama sekali tidak memiliki latar belakang TI. Namun, apa yang dicari Vardon memang bukan seorang ahli TI, yang sanggup mengutak-atik mainframe dan hal-hal teknis TI lainnya. “Yang kami cari adalah seorang pemikir strategi yang handal,” tegas Vardon.

Menurut dia, Treadwell selalu berpikir ke depan. Ia memroyeksikan setiap konsep mengenai kondisi saat ini untuk kepentingan ke depan. Hal itu memungkinkan dia membuat pilihan solusi yang tepat untuk kepentingan masa kini (maupun ke depan).

Tugas Treadwell memang tidak ringan. Belum lama memangku jabatannya, ia sudah harus menghadapi sikap sinis dari orang-orang yang memandang TI dari paradigma lama. Mereka hawatir akan menyedot banyak dana, layaknya proyek-proyek TI masa lalu. Belum lagi sorotan dari sejumlah kalangan, khususnya para old timers , yang masih memandang peran CIO tidak lebih dari mengurusi masalah teknis daripada strategis.

Hambatan itu belum seberapa ketimbang kondisi publik Australia yang sangat kritis. Hampir segala sesuatu yang berhubungan dengan ranah publik maupun politik tak lepas dari sorotan dan kritikan dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya media massa .

Dengan berbagai kesulitan itu Treadwell masih harus meyakinkan Departemen Keuangan Australia bahwa dana sebesar 312 juta dolar Australia (1,5 triliun rupiah) - biaya awal infrastruktur e-business baru - merupakan investasi yang sangat layak dikeluarkan. cio-in/arief

0 comments: