Dengan TI Membangun Bisnis “Low-Cost, High Value”

Dalam waktu setahun, Virgin America membangun sebuah ekosistem TI dari nol untuk mendukung operasi perusahaan penerbangan yang efisien namun bernilai tinggi. Apa saja yang dilakukannya? Dulu, naik pesawat terbang bagi sebagian besar orang hanyalah sekedar impian. Naik pesawat terbang identik dengan harga tiket mahal, dan eksklusif bagi kalangan mampu. Tapi, belakangan kondisi itu berubah. Selama lebih dari satu dekade terakhir, dunia penerbangan komersial global semakin marak, diwarnai dengan hadirnya berbagai low-cost airlines atau no-frills airlines.

Sesuai namanya, low-cost airlines menawarkan harga tiket jauh lebih murah ketimbang airline tradisional. Namun, hal itu harus ditebus dengan “sedikit” mengorbankan kenyamanan penumpang. Full services seperti yang diberikan airline tradisional dipangkas. Layanan-layanan seperti minuman gratis misalnya, ditiadakan.

Namun, pelan-pelan citra low cost airline yang mengesampingkan kenyamanan bagi penumpang agaknya akan segera berubah. Sejumlah low-cost airline, baik yang sudah eksis maupun yang akan segera beroperasi mengambil ancang-ancang melakukan terobosan untuk meningkatkan customer experience-nya.

Hal itu yang menjadi salah satu tujuan low-cost airline Virgin America. Sebagai maskapai penerbangan debutan, yang baru akan melakukan penerbangan perdananya tahun ini, Virgin America bercita-cita membangun citra baru di dunia low-cost airline.

Harga tiketnya setara dengan harga tiket terendah untuk penerbangan cross-country pulang pergi seharga dibawah 300 dolar, seperti yang ditawarkan maskapai penerbangan JetBlue. Tapi, lebih dari itu, perusahaan ini ingin memberikan customer experience layaknya maskapai penerbangan kelas dunia seperti Singapore Airlines.

Diferensiasi apa yang akan ditawarkan Virgin America memang belum sepenuhnya diungkap para petinggi perusahaan itu sebelum mereka benar-benar beroperasi tahun ini.

Setidaknya publik baru mengetahui rute perdana maskapai ini adalah San Fransisco ke New York, memiliki armada terdiri dari 34 unit pesawat gres Airbus A320 serta penawaran fasilitas in-flight yang nyaman untuk penumpang, misalnya penggunaan kursi penumpang buatan Recaro dengan sandaran tipis sehingga memberikan ruang kaki lebih lega bagi penumpang di belakangnya. Selain itu, calon penumpang pun akan lebih mudah mendapatkan tiket karena 70 persen tiket akan mereka bisa peroleh melalui Web.

Pada intinya, seperti yang diungkapkan Todd Pawlowski, vice president guest service and airports, Virgin America, pihaknya ingin memberikan kastamer lebih dari apa yang mereka bayar dan meningkatkan kualitas guest experience-nya.

“Akan ada lebih banyak full service. Tapi kami tidak akan membuat kastamer harus membayar lebih untuk menikmatinya,” tegasnya.

Nah, yang tak kalah menarik adalah bagaimana Virgin America bisa mewujudkan segala fasilitas layaknya airline tradisional itu. Perusahaan ini membangun visi yang jarang dilakukan maskapai penerbangan debutan lainnya: menjadikan TI sebagai kunci dengan membangun strategi TI yang ramping, murah dan efektif.

Low cost, high value
Virgin America sejak awal sadar bahwa kemampuannya untuk menawarkan diferensiasi layanan kepada kastamer yang peka terhadap harga akan sangat bergantung pada bagaimana menjaga biaya TI tetap rendah.

Layaknya perusahaan startup, Virgin America harus melakukan banyak hal dengan dana terbatas, meski termasuk yang terbesar untuk ukuran low-cost airline. Modal awal perusahaan tidak lebih dari 177,3 juta dolar AS, sebagian untuk membeli lisensi penggunaan nama Virgin yang dibeli dari Virgin Management milik entrepreneur terkemuka asal Inggris, Sir Richard Branson.

Upaya untuk membangun TI yang kuat namun efisien pun tercermin dari keputusan perusahaan itu untuk merekrut Bill Maguire sebagai chief information officer (CIO) Virgin America.

Membaca rilis pers terkait dengan penunjukkan Maguire terlihat jelas bahwa Virgin America terkesan akan gaya kepemimpinan pria 53 tahun ini yang cenderung cost oriented.

Prestasinya menekan cost TI sebesar 4 juta dolar per tahun ketika menjabat sebagai CIO Aspect Communications, serta menghemat biaya sebesar 3 juta dolar dengan melakukan pembenahan infrastruktur TI ketika ia menjabat juga sebagai CIO di Legato Systems adalah nilai plus yang membuat Virgin America meminangnya.

"Bill adalah seorang technology leader yang inovatif dan fokus pada biaya,” puji Fred Reid, CEO Virgin America. “Ia dapat membuktikan bahwa ia dapat memanfaatkan teknologi untuk secara efektif menyeimbangkan cost control di dalam sebuah perusahaan jasa high-profile yang penuh dengan berbagai macam tuntutan.”

Maguire pun sadar bahwa sebagai perusahaan start-up, Virgin America memiliki sumberdaya yang relatif terbatas. Sedapat mungkin setiap dolar yang dihemat dari sebuah sistem TI, katakanlah memangkas sistem back-end TI yang tidak memberikan value bagi kastamer, bisa dialihkan ke hal-hal yang memberikan dampak lebih besar bagi kastamer. Misalnya, pembangunan kios-kios layanan di setiap terminal bandara.

Oleh karena itu, begitu ia menduduki kursi CIO Virgin Airlines, ia pun merencanakan untuk menggelar sebuah paduan sistem yang berbiaya rendah (bahkan dalam beberapa kasus tidak memerlukan biaya), efisien serta agile untuk membangun basis bisnis Virgin America yang bergaya “low-cost, high-value”.

“Kami hadir pada saat teknologi sudah berkembang jauh lebih ringkas, cepat dan fleksibel,” ujarnya. ”Jadi kami tidak perlu menggelar mainframe untuk menjalankan sistem-sistem kompleks yang dimiliki airline besar seperti United dan American.” /aa

0 comments: