Terobosan Berani Berorientasi Biaya

Gaya Maguire yang cost-oriented sangat kentara ketika ia menentukan peranti-peranti lunak yang akan digelar Virgin America. Ia pun memanfaatkan berbagai jurus untuk memangkas biaya peranti lunak, mulai dari negosiasi licensing secara kreatif sampai memanfaatkan peranti-peranti open source secara maksimal. Ia pun berupaya menerapkan pola lisensi yang menggunakan concurrent user ketimbang named user, sebuah pola yang lebih disukai kebanyakan vendor peranti lunak. Dalam hal server, ia pun lebih menyukai lisensi sesuai ukuran atau CPU power-nya.

”Saya memahami bagaimana menentukan ukuran sebuah sistem TI dan mengonfigurasi utilisasinya sehingga kami tidak usah membayar lebih dari yang kami perlukan,” ujarnya.

Selain itu, Maguire pun lebih banyak mengeksplorasi teknologi-teknologi berbiaya rendah dan seberapa banyak fitur-fitur yang ditawarkan sebuah peranti lunak bisa bermanfaat bagi perusahaan, dan bagaimana sebuah aplikasi dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Ia memberikan contoh solusi-solusi buatan vendor peranti lunak besar seperti Microsoft atau Oracle. Menurut dia, vendor-vendor itu menghabiskan jutaan dolar untuk mengembangkan peranti lunak sementara hanya 10 persen dari fitur-fitur yang ditawarkan peranti lunak benar-benar digunakan pengguna.

”Contohnya (Microsoft) Word. Saya hanya menggunakan beberapa fitur saja. Bagi saya, terpenting adalah bagaimana membuat sebuah server maupun aplikasi melakukan kerja lebih banyak,” ujarnya.

Saat ini, sebagian aplikasi TI dibuat sendiri oleh Virgin America, antara lain spam filter, load-balancing serta change management. Semuanya berbasis kode open-source.

Penggunaan open source ini memberikan penghematan cukup signifikan bagi Virgin America. Maguire mengestimasi jika menggunakan peranti lunak load-balancing versi tradisional pihaknya harus mengeluarkan sekurangnya 80.000 dolar AS, sementara dengan menggunakan peranti lunak open source praktis pihaknya tidak mengeluarkan biaya apa-apa.

Untuk aplikasi keuangan, Maguire pun memilih aplikasi yang lebih ekonomis, yakni Microsoft Dynamic GP (dulu bernama Great Plains). Biaya implementasinya sekitar 500.000 dolar AS. Sementara jika ia memilih Oracle, ia memperkirakan harus menyiapkan dana 2 sampai 3 juta dolar. Pemilihan ini tidak semata mempertimbangkan faktor biaya saja, tetapi juga timing dan kematangan peranti lunak itu sendiri.

”Beberapa tahun lalu, Great Plains belum cukup handal untuk bisa mendukung operasi seperti perusahaan kami. Namun sekarang sudah memadai,” kilah Maguire.

Virgin America pun membangun sendiri booking-engine berbasis Web. Maguire sendiri terjun langsung mengawasi pembuatan front end situs Web-nya yang eksekusinya diserahkan ke perusahaan desain Web Anomaly, sementara coding untuk back end-nya diserahkan ke perusahaan peranti lunak India, NIIT.

Hosted solution dan alihdaya
Sistem customer relationship management (CRM) pun tak luput dari perhatian Virgin America. Tidak seperti maskapai penerbangan lainnya, Virgin America memiliki keuntungan bisa membangun sebuah sistem dari nol, tidak terbebani masalah dengan integrasi data dan sebagainya.

Uniknya, sistem CRM yang dibangun merupakan paduan antara hosted solution dengan sistem yang dibangun sendiri. Sistem customer feedback-nya menggunakan solusi hosted dari RightNow. Sementara data yang diperoleh akan diproses oleh sebuah sistem yang dibangun Virgin America sendiri.

Perusahaan ini memiliki sasaran cukup ambisius dari sistem CRM yang dibangunnya. Seperti dipaparkan Pawlowski, sistem ini bukan untuk mencatat preferensi serta buying habit kastamer seperti minuman apa yang dipesannya pada penerbangan terakhir, tetapi lebih kepada insiden-insiden yang memiliki dampak besar. Contohnya kejadian-kejadian yang membuat kecewa kastamer, misalnya kehilangan bagasi.

”Nantinya flight attendant kami akan mengetahui informasi ini, dan memberi pesan kepada kastamer bahwa kami memperhatikan masalahnya dan berupaya melakukan sesuatu untuk meningkatkan layanan,” papar Pawlowski.

Masih dalam konteks pelayanan kastamer, Virgin America juga membangun call center. Alih-alih membangun sendiri fasilitas khusus call center, atau mengelola sendiri tim home-agent seperti yang dilakukan JetBlue, Virgin mengalihdayakan call centernya ke tangan WillowCSN, sebuah provider solusi call center virtual bagi perusahaan-perusahaan Fortune 500.

Para home-based CyberAgent CSR yang disediakan WillowCSN ini akan menangani seluruh pertanyaan mengenai reservasi dan informasi penerbangan yang masuk ke nomor toll-free customer service Virgin America.

Pada tahap awal, Virgin America akan mengambil 200 CyberAgent WillowCSN untuk dilatih mengenai sistem reservasi penerbangan dan budaya perusahaan.

Terobosan berani
Dari seluruh sistem TI yang dibangun Virgin dari nol, terobosan yang terbilang paling berani adalah sistem reservasinya. Sistem reservasi boleh dibilang menjadi inti dari sistem TI maskapai penerbangan manapun.

Apapun nama sistem itu, sistem reservasi tak cuma menangani reservasi saja, tetapi juga inventory control, tarif dan ticketing, jadwal, bagasi dan interface dengan fungsi-fungsi kendali departure. Selain itu, sistem ini juga terintegrasi dengan sistem-sistem lain yang dijalankan sebuah maskapai penerbangan, mulai dari sistem flight operations sampai sistem booking berbasis-Web.

Maskapai-maskapai penerbangan yang sudah mapan kebanyakan mengoperasikan sistem legacy yang sudah teruji, seperti Sabre atau Shares. Tapi, sayangnya, sistem-sistem yang kaya fitur seperti ini berjalan di atas mainframe, pemeliharaannya mahal dan sulit untuk di-customize.

Sementara itu, sejumlah low-cost airline seperti Airtran dan JetBlue memilih sistem Open Skies dari Navitaire yang lebih murah dan memiliki sistem reservasi berbasis Web yang lebih sederhana.

Meski beda kelas, kedua peranti lunak di atas sama-sama sudah cukup lama beredar. Perusahaan yang menerapkannya pun mulai menghadapi tantangan untuk meng-upgrade-nya, atau beralih ke sistem baru.

Di sisi lain, sistem reservasi baru yang lebih efisien namun powerful mulai berkembang. Nah, sebagai maskapai penerbangan baru yang memiliki kesempatan untuk membangun sistem TI-nya dari nol, Virgin memiliki kesempatan dan keleluasaan untuk memilih sistem reservasi yang lebih baru.

Pilihan pun jatuh kepada aiRES, sebuah sistem reservasi penerbangan gres yang dirilis pertama kali pada September 2005. Fleksibilitas dan desainnya yang customer-centric membuat Virgin memilih solusi yang pembangunannya didanai Cendant serta dikembangkan pengembang peranti lunak India, IBS.

Selain Virgin America, baru dua maskapai penerbangan yang telah meneken kontrak untuk menggunakan aiRES, yakni Virgin Blue dari Australia dan WestJet dari Kanada. Keduanya juga low cost airline. WestJet tercatat sebagai launch customer aiRES.

Sistem ini dibangun di atas standar open architecture dengan sebuah layer database, sebuah layer aplikasi dan sebuah layer Web services. Arsitektur yang bersifat open ini memungkinkan digelarnya sejumlah layanan-layanan yang memanjakan kastamer, misalnya proses booking tiga langkah, dan proses check-in tujuh detik di airport serta berbagai bentuk efisiensi lainnya yang bisa meningkatkan customer service.

“Solusi ini cepat, fleksibel dan sangat mudah pengonfigurasiannya,” puji Maguire. ”Kami bisa menjalankan bisnis sesuai keinginan kami, tidak perlu didikte seperti kalau menggunakan sistem Sabre atau Navitaire.”

Selain itu, aiRES juga memungkinkan sebuah maskapai penerbangan memperluas layanan kastamernya dengan mengintegrasikan distribution channel-nya dengan layanan travel lainnya.

Sebagai contoh, Virgin bisa mengintegrasikan layanannya dengan pengelola hotel atau rental mobil. Seorang pelanggan bisa melakukan check-in ketika check-out dari hotel, atau menerima boarding pass ketika mengembalikan mobil ke counter rental mobil di airport. Bahkan, notifikasi ke calon penumpang mengenai penundaan atau perubahan jadwal penerbangan kini bisa dilakukan langsung secara real time.

“Dari sudut pandang bisnis, sistem baru ini terbilang luar biasa karena memberikan fleksibilitas lebih tinggi ketimbang sistem generasi lama. Perusahaan kami bisa tumbuh tanpa ada batasan,” ujar Brian Clark, vice president planning and sales, Virgin America, eksekutif yang berperan besar dalam pemilihan aiRES.

Menunggu take off
Sejauh ini, hampir seluruh pembangunan infrastruktur TI di Virgin America telah rampung. Maguire dan timnya telah menjalankan sebagian besar jaringan, serta sudah mengoperasikan datacenter dan peranti monitoringnya. Aplikasi human resource, keuangan dan flight operations pun sudah berjalan.

“Yang tersisa adalah sistem reservasi dan production website-nya,” ujar Maguire, sambil menambahkan bahwa keduanya diharapkan sudah berjalan baik sejak awal tahun ini.

Tahun 2007 ini boleh dibilang merupakan tahun yang kritikal bagi Virgin. Penundaan operasi penerbangan bisa berujung lonceng kematian bagi maskapai penerbangan manapun.

Pasalnya, sampai saat ini Virgin masih menunggu persetujuan final dari DoT (Department of Transportation) AS. Upaya maskapai-maskapai penerbangan besar seperti Continental, Delta, United dan American yang mengajukan keberatan kepada DoT atas permohonan ijin operasi Virgin dengan alasan komposisi kepemilikan saham setidaknya juga menghambat langkah Virgin untuk bisa segera tinggal landas.

Seperti diketahui, regulasi setempat melarang investor asing memiliki lebih dari 50 persen saham kepemilikan atau lebih dari 25 persen suara di dalam sebuah maskapai penerbangan.

Belum lagi melihat antisipasi-antisipasi apa yang dilakukan low cost airlines lainnya. JetBlue, yang disebut-sebut bakal sebagai kompetitor utama Virgin America misalnya juga telah mengambil ancang-ancang untuk meningkatkan customer experience-nya. Belum lama ini, perusahaan itu memenangkan lelang dari Federal Communications Commission (FCC) satu kavling frekuensi gelombang radio untuk komunikasi dari udara ke darat. Jika mendapatkan persetujuan dari FAA, tentu membuka peluang besar bagi JetBlue untuk menyediakan layanan Wi-Fi in the sky.

Namun, meski setiap penundaan sama saja dengan hilangnya peluang mendapatkan uang, Virgin masih berkesempatan untuk menarik keuntungan dari kondisi itu, setidaknya bagi divisi TI-nya.

Selama penantian itu, low cost airline lainnya yang menggunakan aiRES, yakni WestJet yang bermarkas di Calgary, Kanada tak lama lagi akan go-live. Dari sini, Virgin dapat memetik pelajaran sesungguhnya dalam penggunaan aplikasi aiRES, dan mengambil langkah-langkah antisipasi yang dibutuhkan ketika giliran mereka tiba.

Untuk sementara waktu, Virgin America memang harus bersabar sebelum bisa mewujudkan janji-janjinya. Agaknya, mereka harus mengusung tag line perusahaannya: an airline we hope you’ll love lebih lama lagi sebelum bisa mengubahnya menjadi an airline you’ll love. /aa

0 comments: