Showing posts with label Vision. Show all posts
Showing posts with label Vision. Show all posts
1

Consumer Perception is Key to Survival as Recession Puts Pressure on Small Businesses

Now more than ever, maintaining a quality customer experience is crucial to the survival of your business. According to Business Management Specialist, Bob Prosen MBA, Author of Kiss Theory Goodbye, Five Proven Ways to get Extraordinary Results in Any Company, “getting the right message across to your customer will make or break your business during these hard times.”

“It’s essential to cut back during a recession, but the moment you sacrifice your customer’s buying experience your business is doomed,” says Bob Prosen, CEO of The Prosen Center for Business Advancement. “Quality of service and product should be elevated during a recession, knowing where to cut costs and where to improve service will promise your companies success.”

Keep Your Word

Keep your doors open! It all comes down to customer loyalty, with more competition and less buyers, quality of experience is key. Continue providing your base with reliable service, quality products, and top notch customer service. Stay true to your companies promises; DON’T increase prices because you can’t make your bottom line. Innovate to give more value and more free bonuses on things that don’t cost you much. Business Management Expert, Bob Prosen adds, “DON’T cancel your regular sales deals, this will turn loyal customers off and they’ll go elsewhere. Keeping your customers happy by staying in tune with their needs will build loyalty and allow you to scoop up more market share in the process.”

Don’t Compromise Your Customer’s Shopping Experience

Put your client first. DON’T skimp on things that could sour their buying experience. Quality of goods must remain high, don’t switch suppliers just because they can do it cheaper. Remember you usually get what you pay for and your customers will notice. Instead, talk to your current supplier and see if what they can do to help on price, chances are, they don’t want to lose your business and they’ll offer you a better deal.

“Don’t fire your higher paid employees just to replace them with cheaper, untrained labor. Now more than ever, customers want a high quality shopping experience with impeccable service and enthusiastic sales people. Your customers will respect you for your level of integrity and dedication to their needs, producing loyalty for years to come” explains Prosen.

Empathize with your Customer

“Show your clientele that you understand what their going through. Clients want to know that you recognize we are ALL under the gun right now, not just your business. If you need to change your business model then be sure your customers understand your motives. Show them that you want to continue to be there for them now, and when good times return” notes Bob Prosen, Author of Kiss Theory Goodbye. “Everyone is familiar with hard times, and we admire the ones that take the steps to get through it so they can be there for us tomorrow. It’s critical to cut costs during a recession and trust me, your customers understand that. Finding ways to cut bloated expenses rather than vital ones is the key to getting through this.”

Get The Message Across

During tough economic times, it’s essential to get to the customer base with the right message. This is your chance, as a business, to show your humanity and develop closeness with your customer. Let them know that you understand their hardship. "This is the best time to solidify your competitive edge. While others may be cutting back on marketing and publicity to lower costs, you can charge ahead creating confidence and certainty for your brand" says Annie Jennings, CEO of the National Publicity Firm, Annie Jennings PR. Your image is what will keep you in business, now and in the future.

About Bob Prosen
Business Management Specialist, Bob Prosen, MBA is the author of "Kiss Theory Goodbye, Five Proven Ways to get Extraordinary Results in Any Company" and the CEO of The Prosen Center for Business Advancement. As an entrepreneur and experienced business leader, Bob’s mission is to help business leaders rapidly increase performance, productivity and profits. Prosen is the world's leading authority on The Five Attributes of Highly Profitable Companies® and is an internationally recognized business expert that has helped such companies as AT&T Global Information Solutions/NCR, Hitachi Data Systems, Sabre, Sprint, and Data Return Corporation achieve unprecedented financial and operational success. [Annie Jennings PR]


Read more...
6

Profesional TI dan Peningkatan Daya Saing Industri Telematika

Dari tahun ke tahun, di banyak negara Asia, termasuk negara tetangga Indonesia di kawasan ASEAN, industri telematika atau ICT (Information and Communication Technology), telah mendapat perhatian yang cukup besar. Berbagai inisiatif dilakukan, baik yang terkait dengan pengembangan dan penerapan telematika, maupun peningkatan jumlah dan kualitas sumberdaya profesional TI yang mendukungnya.

Berbagai kebijakan diambil guna mendukung berbagai inisiatif yang telah digulirkan, yang semuanya bermuara pada bagaimana mengambil manfaat optimal dari perkembangan telematika dunia bagi pembangunan bangsa, baik itu ekonomi, politik, pertahanan maupun budaya. Telematika tidak semata-mata dilihat sebagai suatu industri yang terpisah, melainkan ditempatkan pada posisi yang seimbang antara sebagai enabler percepatan pembangunan bangsa melalui berbagai penerapan di berbagai bidang dan sektor, dan sebagai industri yang bisa megontribusi terhadap pendapatan negara sebagaimana industri-industri lainnya.

Hari ini, hampir tidak ada industri atau perusahaan di Indonesia yang tidak memanfaatkan telematika bagi peningkatan daya saing bisnisnya. Tidak ada industri atau bisnis yang masih mengandalkan berbagai perangkat, sistem atau solusi tradisional dalam lingkungan bisnis yang sangat kompetitif dan membutuhkan kecepatan. Baik kecepatan dalam mengambil berbagai keputusan bisnis strategis, maupun kecepatan dalam memberikan pelayanan, terutama karena berhadapan dengan para pesaing yang juga telah menerapkan berbagai aplikasi dan perangkat telematika yang maju.

Namun, dalam lingkungan bisnis yang sangat kompetitif sekarang ini, terbukti industri telematika Indonesia masih menghadapi persoalan klasik, yakni kurangnya ketersediaan sumber daya manusia TI yang berkualitas dan minimnya dukungan permodalan. Hal ini bukan saja menjadi kendala perusahaan-perusahaan telematika yang sudah eksis, melainkan terutama juga bagi perusahaan-perusahaan yang baru akan berkembang (start-up).

Dari hasil kajian Bandung High-Tech Valley (BHTV), dengan perkiraan pendapatan ekspor industri Teknologi Informasi sebesar 8,2 miliar dolar AS pada tahun 2010, dibutuhkan tak kurang dari 350 ribu tenaga profesional TI. Saat ini, setidaknya ada sekitar sebelas profesi TI yang perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan, yakni operator, teknisi komputer, trainer, peneliti, konsultan, programmer, project manager, graphic designer, network specialist, database administrator, dan system analyst. Bukan hanya jumlahnya, kualitasnya juga harus menjadi perhatian penting untuk dipenuhi, terutama dalam upaya meningkatkan daya saing industri telematika nasional.

Peningkatan daya saing industri telematika lokal, tidak bisa begitu saja terjadi hanya karena pemerintah atau industri dalam negeri telah membuka diri untuk menjadi pengguna berbagai produk telematika lokal. Persoalan yang dihadapi adalah bagaimana solusi atau produk tersebut memiliki standarisasi yang jelas dan tingkat kompetensi pengembangnya yang bisa dinilai setara dengan standarisasi dan kompetensi yang berlaku di industri. Begitu juga adanya dukungan iklim berbisnis yang sehat, sehingga sangat kondusif bagi perkembangan kreativitas dan produktivitas industri telematika lokal.

Berdasarkan data Departemen Perindustrian, bahwa saat ini Indonesia memiliki 50 perusahaan komputer skala menengah-besar dan 5.000 perakit komputer skala kecil. Sedang di industri peranti lunak ada sebanyak 154 perusahaan pengembang skala menengah-besar, 214 perusahaan skala kecil, dan 150 perusahaan animasi.

Belakangan Indonesia, memang berinisiatif mengembangkan kawasan berbasis industri TI seperti Regional ICT Center of Excellent (RICE), yang katanya hampir serupa dengan pengembangan technopark di India dan Multimedia Super Corridor Malaysia. RICE di dikembangkan di kota-kota besar Indonesia, antara lain Medan, Jakarta, Bogor, Bandung, Cimahi, Surabaya, Denpasar dan Manado.

Namun, saya menilai, tanpa adanya suatu kerangka pengembangan telematika yang jelas, termasuk tahap-tahapan pengembangannya dalam jangka waktu tertentu, berbagai inisiatif yang telah dilakukan hingga saat ini, masih akan terfragmentasi karena tidak adanya main point yang akan dicapai dan diperjuangkan.

Karena, industri telematika tak bisa begitu saja diserahkan ke pasar dan dibiarkan tumbuh dengan sendirinya. Pengalaman di banyak negara menunjukkan hal itu. Itulah mengapa Malaysia membangun MSC (Multimedia Super Corridor), Singapura dengan Singapore One, India dengan kawasan Bangalore, begitu juga negara-negara lainnya di Asia. Bedanya kalau mereka telah mengembangkannya sepuluh-lima belas tahun yang lalu, Indonesia baru ingin melaksanakannya saat ini.

Karenanya, yang kita perlukan lebih pada adanya komitmen dan visi yang jelas dari penyelenggara negara ini dalam upaya meningkatkan daya saing bangsa, baik sumberdaya manusianya maupun industri dan pencapaian bidang-bidang lainnya. Dan, bagaimana kita memosisikan telematika dalam upaya tersebut, sehingga akan semakin memperjelas langkah-langkah yang akan dikembangkan, dan kesiapan partisipasi berbagai pihak, dan tentunya kalangan swasta. Semoga.


Read more...
0

E-Learning: Perlu Komitmen dan Visi Yang Jelas

Membangun e-learning, saat ini, bukan saja sangat dimungkinkan, melainkan sudah banyak dilakukan karena semakin banyak yang membutuhkan, baik di lingkungan pendidikan maupun perusahaan. Bagi kalangan pendidikan, e-learning merupakan suatu peluang baru untuk memungkinkan semakin banyak orang yang berkesempatan untuk menikmati pendidikan, suatu pola peningkatan pengetahuan yang bersifat terstruktur dan dimanfaatkan secara luas dengan memanfaatkan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi (ICT, Information and Communication Technology). E-learning dapat juga digunakan sebagai media penyebarluasan kesempatan meraih pendidikan bagi kalangan yang lebih luas dan dapat diakses kapan saja, di mana saja akses untuk itu tersedia. Bagi kalangan perusahaan, e-learning semakin memungkinkan banyak orang yang bisa ditingkatkan pengetahuan dan ketrampilannya, meskipun mereka tidak berada di satu lokasi tertentu meski masih dalam lingkungan perusahaan yang sama. Misalnya perusahaan yang memiliki banyak kantor cabang, sehingga meskipun pendidikan itu diselenggarakan di kantor pusat, kalangan karyawan yang berada di berbagai kantor cabang pun dapat memperoleh pendidikan atau pelatihan yang sama tanpa harus hadir di kantor pusat. Peluang ini sangat mungkin diraih, meski untuk itu diperlukan perangkat, sistem dan konten bahan ajar yang akan digunakan oleh peserta pendidikan atau pelatihan. Persiapan untuk menyelenggarakan e-learning ini tentunya membutuhkan suatu perencanaan yang matang, baik dari segi visi, tujuan maupun pelaksanaannya. Dengan begitu, e-learning akan dapat tumbuh dengan baik sesuai dengan yang diharapkan. Secara umum, e-learning dapat dikategorikan dalam berbagai bentuk kegiatan, yang umumnya berjarak-jauh, salah satunya dengan memanfaatkan Internet sebagai tools pelaksanaan pendidikan dan pelatihan. Dalam realitasnya e-learning dapat dikategorikan dalam berbagai kegiatan, antara lain kursus, pendidikan informal, pendidikan campuran, komunitas, Knowledge Management (KM), pendidikan dalam jaringan atau kelompok, dan pendidikan berbasis kerja (work-based learning – EPSS), yang semuanya dilakukan secara jarak jauh. Namun, persepsi e-learning yang sekarang ini umum difahami adalah bagaimana menyelenggarakan suatu pendidikan jarak jauh berbasis Internet, Web dan Multimedia. Pendidikan yang banyak menggunakan perangkat komunikasi modern untuk memperluas kemungkinan banyak orang yang terlibat dalam proses peningkatan pengetahuan. Meskipun sebenarnya, masih terbuka peluang lainnya yang beragam yang bisa dimanfaatkan untuk mewujudkan e-learning. E-learning juga dipandang sebagai suatu cara untuk memperkecil jurang (gap) antara mereka yang memiliki akses luas terhadap pendidikan dan pelatihan dengan mereka yang kurang atau belum memiliki akses. E-learning juga memungkinkan banyak orang memperoleh kesempatan meningkatkan pengetahuannya melalui akses yang dipakai bersama, misalnya dalam lingkungan sekolah, dan komunitas masyarakat dalam satu community center, dan sebagainya. E-learning juga memungkinkan orang-per-orang untuk memiliki akses belajar jarak jauh tanpa harus hadir di suatu ruang belajar tertentu. E-learning juga semakin memungkinkan memperoleh pengetahuan dari berbagai sumber yang beragam dari manapun di seluruh dunia, sepanjang dapat diakses melalui Internet. Dengan begitu, kalau belakangan ini ada upaya, baik dari kalangan pemerintah, perusahaan maupun lembaga lainnya, untuk membangun akses yang memungkinkan pendistribusian bahan ajar secara jarak jauh dengan memanfaatkan keunggulan Internet, ini sesungguhnya peluang dan upaya yang mestinya diperhatikan sungguh-sungguh. Mengapa? Karena ini merupakan peluang yang memungkinkan semakin banyak orang dapat menikmati proses belajar, atau menambah pengetahuan secara jarak jauh dengan biaya yang relatif murah. Apalagi kalau akses ini dapat digunakan secara cuma-cuma dan bersama untuk sejumlah orang atau peserta didik. Bagi Indonesia, tanpa berpikir muluk-muluk sebenarnya upaya untuk membangun e-learning dapat dilakukan dengan mudah. Mengapa mudah? Karena, jika ada kemauan itu semua bisa dilakukan. Bangsa ini memiliki sejumlah operator telekomunikasi dan penyedia jasa akses Internet, punya banyak sekolah dan lembaga pendidikan, punyak banyak sumber-sumber informasi, baik perusahaan, lembaga maupun media. Bertemunya akses dengan konten dari beragam sumber yang beragam itu, sebenarnya sudah merupakan potensi yang luar biasa dari upaya untuk membangun e-learning. Persoalannya, mampukah kita meneguhkan suatu komitmen untuk membangun e-learning yang sungguh-sungguh dapat dimanfaatkan masyarakat umum, terutama katakanlah terbatas untuk komunitas sekolah, yang tidak dilihat semata-mata sebagai suatu obyek bisnis. Melainkan suatu bentuk kontribusi nyata bagi pembangunan pengetahuan warga bangsa, yang nantinya akan berkontribusi bagi peningkatan pengetahuan banyak anggota masyarakat lainnya. Yang bukan tidak mungkin pula, nantinya ketika mereka secara ekonomis berkemampuan, mereka dapat memenuhi kebutuhannya meskipun untuk itu dia harus membayar. Membayar bukan menjadi masalah, jika dari pendidikan yang dilakukan melalui e-learning dapat meningkatkan keahlian dan kapabilitasnya, sehingga memungkinkan ia memperoleh pendapatan yang lebih baik dibandingkan sebelumnya. Namun, hal itu masih menunggu adanya suatu komitmen yang kuat dari berbagai kalangan, terutama pemerintah, dalam membangun e-learning yang sesungguhnya. Bukan sebaliknya, sebagai proyek yang hanya dianggap selesai ketika proyek tersebut sudah dilaksanakan dan berjalan, meskipun dalam beberapa waktu kemudian hal itu tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Yang diharapkan adalah suatu e-learning yang sungguh-sungguh direalisasikan secara sadar, terstruktur, berdimensi luas dan bervisi jangka panjang. E-learning sebagai suatu pelaung peningkatan pengetahuan berbasis teknologi informasi dan komunikasi yang semakin kompetitif. Semoga!


Read more...
0

Citizen Information Center: Langkah Awal Membangun Sumber Informasi Terpadu Bagi Masyarakat

Kalau melihat perkembangan diri dan keluarga sebagai warga negara, saat ini kita sendiri mungkin berada dalam kebingungan. Mulai dari anak kita lahir, kemudian sekolah, lulus sekolah, dewasa, dan mulai mencari pekerjaan. Setelah bekerja, mendapat penghasilan dan mulai mempunyai NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Setelah itu, mungkin dia ingin membeli mobil, menikah, dan mulai berpikir membeli rumah. Saat itu, dia juga mulai memikirkan masalah kesehatan dan asuransi diri dan keluarganya, serta kebutuhan lainnya. Karena dukungan keuangan yang meningkat, ia ingin memenuhi berbagai kesenangannya misalnya olah raga, traveling, fashion dan sebagainya. Semua ini sesungguhnya membutuhkan berbagai informasi yang akurat dan mudah diakses.

Di sisi lain, misalnya urusan kartu identitas. Sekarang ini kita memilikinya dalam jumlah banyak, yakni ada KTP, SIM, paspor dan lain sebagainya. Ada juga kartu asuransi dan dan berbagai kartu lainnya. Lihat saja dompet Anda, ada berapa banyak kartu yang Anda punyai? Belum lagi kartu kredit, ada yang dari bank A, B, C dan sebagainya. Dompet Anda penuh berisi kartu identitas, namun masing-masing kartu tidak nyambung.

Belum lagi berbagai masalah keseharian yang dihadapi masyarakat, seperti langganan listrik PLN, atau air PAM. Telat bayar sedikit saja diputus. Atau, kalau kelebihan mencatat meteran, pembayarannya meningkat. Padahal yang salah bukan si pengguna, tetapi si pencatat meteran. Problemnya, bukan masalahnya yang ditangani, tetapi Anda harus membayar terlebih dahulu, meski itu bukan kesalahan Anda sebagai pelanggan.

Selain itu, kalau Anda mau komplein ke mana? Siapa yang harus dihubungi? Berapa lama masalahnya akan tertangani dan selesai? Satu jam? Satu hari? Atau, satu minggu? Tak jarang, untuk masalah yang sebenarnya ringan, Anda harus berkali-kali melakukan kunjungan. Selain membutuhkan biaya dan waktu yang terkadang cukup banyak, terutama bagi kalangan menengah ke bawah.

Sebenarnya, kalau mau jujur, masalah seperti ini sangat banyak menimpa masyarakat kita dan biasanya, mereka selalu berada di posisi yang lemah. Nah, dalam kaitan itu mengapa kita tidak mencoba membangun solusi, terutama dengan menggunakan TI, sehingga secara bertahap mampu menjawab berbagai persoalan yang dihadapi masyarakat.

Dalam proses dari lahir sampai meninggal itu, tidak hanya di negara kita, tetapi di semua negara, perlu satu kontak yang jelas. Artinya, kalau kita mau membuat akte kelahiran ke mana? Membuat SIM, ke mana? Banyak kebutuhan lain yang memerlukan kejelasan kontaknya. Hal inilah yang mendorong para penyedia Teknologi Informasi (TI) untuk menyediakan solusi, mulai dari database hingga ke aplikasi dan interoperability-nya, sehingga menjadi suatu kesatuan. Sebenarnya, ini normal saja dan terjadi di semua negara.

Untuk itulah diperlukan satu kesatuan single truth atau single source of information yang memuat berbagai macam informasi yang dapat diakses dengan mudah, misalnya berupa portal atau sumber informasi melalui, katakanlah, situs http://www.republikindonesia.com/ atau http://www.republikindonesia.co.id/.

Tujuannya adalah, pertama menyediakan informasi yang terpadu. Saat ini, yang terjadi adalah bahwa setiap departemen mempunyai sistemnya masing-masing. Ada yang setengah manual, ada yang cukup pakai spread sheet, dan ada yang punya website, tapi jarang diperbarui isinya. Hanya sekedar ada. Mungkin ada sistem yang canggih, sudah punya infrastruktur di dalamnya untuk e-mail, internet, intranet dan sebagainya.

Kedua, setiap departeman mempunyai data, yang kadang-kadang satu dengan lainnya terduplikasi. Bisa jadi berbeda sama sekali, karena yang satu terbarui, sedang yang lainnya tidak. Yang diharapkan adalah masyarakat tidak binggung mendapatkan informasi yang dibutuhkannya, mau bertatap-muka boleh, lewat telepon boleh, mau lewat fax juga boleh. Kalau punya ponsel, bisa juga melalui SMS atau akses Internet.

Dari sini, apa sih yang sangat diharapkan masyarakat? Sesungguhnya, yang diharapkan adalah bisa mendapat berbagai informasi dari suatu tempat tertentu dengan mudah. Tapi kenyataannya, kita belum punya. Nah, kalau kita punya impian ke arah itu, maka sebaiknya kita harus melakukannya langkah-demi-langkah (step-by-step), lakukan apa yang paling utama.

Jadi, dari siklus kelahiran sampai kematian itu, yang menjadi pertanyaan adalah bagaimana warga negara bisa mendapatkan berbagai layanan yang baik, cepat dan mudah dijangkau. Kalau sebelumnya tatap muka, mungkin sekarang ini bisa melalui telepon. Kalaupun masih tatap muka, bagaimana layanannya lebih memberikan kepastian penyelesaian yang cepat, transparan dan mudah. Kalau pun hal itu membutuhkan biaya, perlu ada kepastian berapa besar biayanya dan itu bisa diumumkan secara terbuka. Sehingga ketika masyarakat membutuhkan layanan itu, mereka bisa mendapatkannya secara cepat dan murah, tanpa tambahan biaya ini dan itu.

Namun, inisiatif ini tak hanya datang karena adanya kebutuhan masyarakat saja, melainkan pemerintah juga berpikir mengenai hal itu. Karena, dengan jumlah penduduk yang banyak seperti Indonesia ini, diperlukan upaya yang lebih baik dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Tentunya, hal ini tak bisa dilakukan dengan cara-cara tradisional. Di sisi lain, hal itu juga terkait dengan pihak lain, yang selama ini mungkin sudah memiliki standar pelayanan tertentu. Hanya saja, antara yang satu dengan yang lain berbeda-beda, sehingga boleh dikata membentuk silo-silo informasi yang tidak mudah disatukan.

WSIS (World Summit on the Information Society) sebenarnya sudah merekomendasikan bahwa pada 2015 sekitar 50 persen penduduk dunia, termasuk Indonesia, harus sudah tersambung dengan perangkat telekomunikasi, baik itu telepon, Internet dan lainnya. Nah, hal itu kita lihat dari dua sisi, baik masyarakat maupun pemerintah, dan harapannya semua itu dapat dirangkum sehingga mampu memberikan solusi bagi masyarakat.

Solusinya adalah pemerintah harus mulai memikirkan layanan informasi yang utuh dan terpadu, misalnya yang paling sederhana - call center. Untuk tahap awal cukup dengan call center, meski tak harus berbasis komputer. Tetapi, akan lebih baik lagi kalau dilengkapi sistem TI, sehingga bisa lebih baik. Misalnya, penyediaan call center dengan menggunakan nomor toll-free.

Dengan begitu, apa yang mesti dan bisa dilakukan? Take a baby step. Mengapa? Dulu orang selalu membuat planning yang besar, kapasitas mainframe yang besar dan mahal. Misalnya, kalau di perbankan atau operator Telekomunikasi, mereka merencanakan untuk lima tahun ke depan dengan kapasitas planning berdasarkan transaksi hari ini berapa? Jadi, lima tahun ke depan pertumbuhannya seperti apa? O, berarti saya butuh hardware dan storage yang besar.

Padahal, itu dibeli untuk lima tahun ke depan. Lima tahun yang akan datang, sudah muncul hardware baru dan teknologi baru, dan teknologi yang sekarang sudah ketinggalan. Selain itu, kalau dilihat dari load balance penggunaannya mungkin hanya antara 20%, 30%, 40%, 50%, atau 60% saja dan sisanya tidak tergunakan sama sekali.

Sementara, teknologi yang baru sekarang ini ada yang bisa start from small. Start from small, pay as you grow. Ada teknologi yang berplatform Linux, Open source, Windows dan sebagainya. Juga ada yang disebut blade server, yang bisa menambah kapasitas cukup dengan memasang tambahannya tanpa mematikan sistemnya. Ada juga server yang memiliki database sendiri, application cluster sendiri, mastery, punya mirroring dan macam-macam. Sekarang juga mungkin menggunakan apa yang disebut grid computing. Membayar sesuai apa yang digunakan, layaknya menggunakan telepon, berapa banyak pulsa yang di pakai.

Jadi layanan informasi terpadu itu ditujukan untuk memudahkan masyarakat untuk berhubungan dengan pemerintah, yang memberikan layanan. Itu bisa dilakukan secara lebih mudah dan bisa dimulai dari tingkat yang paling bawah, misalnya RT/RW, atau kelurahan. Bisa juga dimulai dari salah satu departemen sebagai inisiator. Tapi, hal itu sangat sulit terjadi di kita, karena masing-masing departemen nantinya akan menunjukkan bahwa merekalah yang paling layak menjadi inisiator. Karenanya, lebih baik dibentuk suatu badan atau kelembagaan langsung di bawah Presiden, sehingga lebih mudah dikontrol.

Sebenarnya, informasi yang dibutuhkan masyarakat itu sudah ada. Hanya saja masih terpisah-pisah, sehingga menyulitkan bagi masyarakat untuk memperolehnya. Karena tidak ada navigator yang mengarahkan ke sana. Dengan adanya suatu portal, maka semua informasi yang dibutuhkan dapat memiliki entry point yang jelas, dan selanjutnya bisa saja mengarah ke masing-masing, misalnya departemen atau lembaga.

Jika informasinya belum tersedia dalam bentuk digital, maka bisa disediakan di portal tersebut, sehingga portal tersebut juga berfungsi menjadi sumber informasi yang terpadu dan bersifat nasional. Kalaupun nantinya ada yang bersifat lokal, dia bisa tersambung dengan yang nasional. Intinya bagaimana memberikan entry point terhadap berbagai macam informasi yang dibutuhkan masyarakat tanpa perlu mengubah apa yang telah ada di masing-masing departemen atau lembaga.

Dengan begitu, langkah awal yang bisa dilakukan adalah membuat single source of information, dimana informasi itu tidak membuat overlapping dengan yang telah dimiliki, tetapi justru melengkapi berbagai informasi yang sudah ada dan memudahkan navigasinya menuju informasi yang diharapkan. [Goenawan Loekito, pemerhati teknologi informasi]


Read more...
0

Pengalaman LandAmerica Financial Group Inc. & WellPoint Inc. Menerapkan HCM

Penerapan solusi SDM lazimnya dimulai dari the biggest areas of pain yang dialami perusahaan. Symons memberikan contoh, jika suatu perusahaan mengalami pertumbuhan yang pesat, sehingga kebutuhan tenaga kerja meningkat, perusahaan tersebut mungkin akan fokus dulu pada solusi talent management dan rekrutmen. Hal semacam itu sempat dialami oleh sebuah perusahaan jasa properti di AS, LandAmerica Financial Group Inc. Sejak tahun 2000, perusahaan yang memiliki 12.000 karyawan ini pendapatannya meningkat dari 1,8 miliar dolar AS menjadi 3,4 miliar dolar AS, dan dalam kurun waktu tersebut LandAmerica mengakuisisi sejumlah perusahaan.

Sejalan dengan pertumbuhan itu, seperti diungkapkan oleh Carol M. Anderson, senior vice president and director of talent and learning resources, LandAmerica, pihak perusahaan ingin memanfaatkan aset SDM-nya untuk secara efektif menyampaikan berbagai produk dan layanan ke kastamer. Karenanya, digelarlah solusi Human Capital Management (HCM).

Upaya penggelaran HCM di LandAmerica dimulai tahun 2003, diawali dengan diluncurkannya program talent management yang bertujuan menilai kekuatan dan kelemahan perusahaan secara keseluruhan. Karyawan pada posisi manajerial menjadi subyek pertama yang digunakan Anderson.

Menurut Anderson, jumlah karyawan dari kelompok ini cukup tinggi, dan perusahaan akhirnya menyadari bahwa pihaknya memerlukan teknologi untuk melihat data-data mengenai kelompok ini lebih rinci. Misalnya, bagaimana para manajer mencapai business goals-nya dan apakah para eksekutif itu sudah sejalan dengan nilai-nilai korporat.

Departemen TI LandAmerica secara bertahap mulai membangun sistem HCM, dimulai dengan membangun sebuah sistem proprietary berskala kecil berbasis teknologi SQL. Awalnya memang sederhana, para manajer cukup mengetikkan teks dan sistem akan menampilkan data kasar mengenai ketrampilan karyawan, kenang Anderson. Namun, akhirnya, LandAmerica memutuskan menggunakan solusi HCM yang lebih baik buatan Softscape Inc.

Anderson terus berupaya mengonlinekan sistem performance and talent management-nya untuk seluruh 12.000 karyawannya, yang semua itu berhasil diselesaikannya pada tahun 2007. Anderson juga menggelar fungsi-fungsi HCM, yang meliputi sistem assessment untuk 300 top leaders dan manajer di tahun 2006.

Anderson berharap upaya itu akan membuat pengelolaan pengembangan karyawan menjadi lebih baik, dan berdampak positif terhadap pertumbuhan perusahaan. Namun, seperti diakuinya, solusi HCM tersebut belum sepenuhnya sesuai harapan. Ia menginginkan sebuah fungsi yang bisa memberikan data karyawan di suatu wilayah yang membutuhkan pelatihan tertentu.

“Dengan informasi semacam itu, kami bisa mengasah keterampilan dan membuat pelatihan yang lebih fokus, sehingga kapabilitas manajer kami pun lebih baik. Hal itu tentunya berdampak positif pada kinerja perusahaan,” imbuhnya.

Belum End-to-End

Di sisi lain, salah satu perusahaan yang sudah menikmati manfaat strategis dari keberhasilan penerapan HCM adalah WellPoint Inc., salah satu perusahaan asuransi kesehatan terbesar di AS. Bagi departemen SDM perusahaan yang memiliki karyawan sekitar 38.000 orang dan pendapatan 37 miliar dolar AS itu, HCM sudah menjadi andalan sejak tahun 1998.

Menurut Chuck Moore, vice president of human resources information systems, WellPoint Inc, sebelum diterapkannya HCM, perusahaannya menderita kerugian 60 juta dolar per tahun akibat tingginya tingkat turn-over karyawan. “Keluar-masuk karyawan memang menjadi masalah bagi kami ketika itu,” tuturnya.

Akhirnya, WellPoint memutuskan untuk menerapkan peranti lunak HCM buatan PeopleSoft. Namun, secara bersamaan, perusahaan juga melakukan pendekatan ke karyawan untuk mengidentifikasi apa saja permasalahannya. Misalnya, berbicara dengan kalangan manajer yang membutuhkan pelatihan tambahan, atau memastikan bahwa perusahaan tidak kehilangan ketrampilan yang dibutuhkan bersamaan dengan berpindahnya sejumlah karyawan. Data itu kemudian dimasukkan ke dalam repository dan dianalisis. Berdasarkan informasi yang dihasilkan sistem itulah perusahaan mengambil langkah-langkah yang diperlukan.

Selain menambah pelatihan, WellPoint juga menerapkan bonus bagi para manajernya berdasarkan pengurangan turn-over. Perusahaan juga mengadakan survei di kalangan karyawannya, mulai dari masalah kepuasan kerja sampai persepsi mereka mengenai SDM. Informasi dari survei itu dimanfaatkan para eksekutif sebagai dasar melakukan berbagai perubahan prosedural yang berlaku di perusahaan.

Salah satu hasil survei mengungkapkan bahwa karyawan merasa terbatas dalam peningkatan karir, karena ada aturan yang mengharuskan mereka mendapatkan persetujuan dari manajernya untuk mengajukan permohonan pindah tugas di lingkungan perusahaan. Setelah peraturan diubah, promosi di kalangan internal meningkat sekitar 15 persen, dan dalam tiga tahun, tingkat keluar-masuknya karyawan berkurang setengahnya, aku Moore.

Sejalan dengan pertambahan karyawan (dari 7,000 orang pada 1997 hingga 38,000 orang pada 2004), WellPoint pun menambah sejumlah modul ke sistem HCM, antara lain sistem pengaturan benefit secara swalayan (self-service), portal karyawan dan peranti lunak succession planning.

WellPoint memang membutuhkan waktu cukup lama untuk memetik keberhasilan dari penggelaran solusi HCM-nya. Penyesuaian maupun integrasi solusi cukup banyak dilakukan. Sebagai contoh, untuk modul succession planning, WellPoint harus mencari dari vendor lain, karena PeopleSoft sendiri tidak menyediakan solusi tersebut pada saat itu.

Permasalahan seperti itu, agaknya juga bakal dijumpai perusahaan-perusahaan lain yang ingin menerapkan solusi HCM dari ujung-ke-ujung (end-to-end). Seperti diungkapkan Symons dari Forrester, saat ini boleh dikatakan belum ada satu vendor pun yang bisa menyediakan HCM end-to-end.

“Perusahaan-perusahaan penyedia ERP (Enterprise Resource Planning) sendiri sebenarnya secara tradisional adalah penyedia sistem HRMS, dan juga sudah menambahkan modul-modul HCM ke dalam sistemnya. Namun, modul-modul itu tidak sematang seperti yang disediakan pemain lain (spesialis HCM),” imbuhnya.

Memangkas Biaya

Pemangkasan biaya ini bisa menjadi tawaran yang memikat bagi para pengambil keputusan. Tak terbantahkan bahwa peranti lunak HCM bisa menjadi peranti pemangkas biaya yang berharga, seperti menghemat biaya dengan menggelar program e-learning dan merampingkan operasi pengelolaaan SDM, misalnya payroll dan pengawasan.

Hal tersebut juga dialami Canada Post. Selain membangun portal yang memungkinkan karyawan mengelola sendiri sejumlah benefit yang diberikan perusahaan, Canada Post juga mengembalikan pengelolaan payroll, yang tadinya dialihdayakan, kini dilakukan secara in-house. Biaya alihdaya dipangkas, departemen payroll pun lebih ramping 20 persen.

Selain itu, adanya jaringan online secara nasional, dimana para manajer memiliki cara yang seragam untuk melacak upah lembur dan absen karyawan, membuat perusahaan bisa memangkas pengeluaran. Setidaknya sebesar 9 juta dolar AS per tahun sejak sistem HCM pertama kali diterapkan tahun 2003.

Manfaat strategis solusi HCM mungkin belum sepenuhnya bisa terwujud, karena peranti lunak HCM sendiri masih terus dalam proses pematangan. Perusahaan-perusahaan yang akan maupun sudah menerapkan solusi HCM sementara harus cukup puas hanya dengan cost saving. Para CIO juga harus berpikir dua kali untuk melakukan investasi yang jumlahnya mungkin cukup signifikan, baik dari segi biaya maupun waktu.

Tapi, kalau penghematan yang bakal dihasilkannya cukup signifikan, ya kenapa tidak? /aa


Read more...
0

Bagaimana Google Berhasil Dalam Berbagai Inovasi Yang Dilakukannya

Google, raksasa mesin pencari dunia maya, tak begitu saja meraih keberhasilan sebagaimana yang dicapainya saat ini. Namun, dari tahun ke tahun terbukti bahwa Google mampu meraih pertumbuhan bisnis yang diikuti oleh berbagai keberhasilan dari inovasi-inovasi yang dilakukannya, termasuk melakukan akuisisi dari perusahaan-perusahaan yang semakin memperkaya portofolio produk dan layanannya. Salah satunya, sebagaimana diungkapkan Jon Ingham dalam tulisannya di blog-nya [Jon Ingham's Strategic Human Capital Managamenet (HCM) Blog] adalah karena perusahaan yang dibangun oleh Larry Page dan Sergey Brin ini menerapkan Human Capital Management [HCM], yang mendorong keberhasilan perusahaan.

Jon mengungkapkan alasan-alasan mengapa Google mampu mengembangkan inovasi yang sukses:

One clear reason for Google’s success at innovation is that the company does what many others do not: budgets for it in employee time. New ideas at Google are often generated by employees, from the bottom up, in a prescribed system of time allocation. Technical employees are required to spend 80% of their time on the core search and advertising businesses, and 20% on technical projects of their own choosing.

Juga bagaimana Google melakukan berbagai pendekatan:

Google’s approach to innovation is highly improvisational. Any engineer in the company has a chance to create a new product or feature. That individuals can have such influence has allowed Google not only to attract high-quality employees (including some of the world’s best computer scientists, statisticians, and economists) but also to create a large volume of new ideas and products.

Read Jon Ingham's Blog: HR For Innovation / Google


Read more...
6

Solusi HCM Tak Cuma Menghitung Gaji

Berkat berbagai perubahan yang dilakukan, termasuk penerapan solusi Human Capital Management (HCM) delapan tahun lalu, kini Canada Post Corporations berhasil membukukan pendapatan bersih konsolidasi sebesar 54 juta dolar AS untuk tahun fiskal yang berakhir December 31, 2007. Dengan total 70.000 karyawan yang dimilikinya saat ini, BUMN Kanada ini mampu mempertahankan profitabilitasnya selama tiga belas tahun berturut-turut dan meraih “return on equity” untuk tahun 2007 sebesar 3.8 persen. [Laporan Tahunan Konsolidasi Canada Post Corporations].

Mengurus sumber daya manusia (SDM) bukan pekerjaan mudah. Apalagi kalau perusahaan mempekerjakan ribuan, bahkan puluhan ribu karyawan. Tantangan pengelola SDM ke depan bukan lagi soal administrasi kepegawaian, seperti mengurus gaji, lembur atau cuti karyawan. Setiap karyawan memiliki ambisi, talenta, skill dan kapabilitas yang berbeda-beda. Karenanya, perusahaan-perusahaan semakin ditantang untuk secara optimal memberdayakan individu-individu ini agar bisa diarahkan untuk kepentingan bisnis perusahaan. Teknologi Informasi (TI) tampaknya bisa berperan penting untuk mencapai tujuan itu.

Pengelolaan SDM yang efisien berkat bantuan TI yang berdampak positif terhadap bisnis perusahaan semacam ini dialami oleh Canada Post. Delapan tahun lalu, penyedia layanan pos nasional yang sekaligus juga institusi ke enam terbesar dalam jumlah karyawan di Kanada, ini tengah mengalami tekanan yang begitu besar.

Persaingan bisnis kurir dengan perusahaan-perusahaan swasta, seperti United Parcel Service (UPS) dan FedEx pelan-pelan mulai menggeroti keuntungan Canada Post. Parahnya, sistem TI proprietary yang dimilikinya pun lamban dalam mengantisipasi perubahan bisnis yang begitu cepat di industri ini. “Pendapatan perusahaan mulai menyusut,” kenang Jamie Esler, General Manager, Human Resources Department, Canada Post.

Selain itu, menurut Esler, pihak departemen SDM pun terbebani dengan sistem-sistem legacy yang sulit berkomunikasi satu sama lain. Para manajer lini bisnis juga kesulitan menggunakan sistem ini, sehingga proses penjadualan dan payroll serta penanganan karyawan pun kurang mulus. Mau tak mau, langkah pembaruan perlu diambil.

“Kami baru menyadari begitu banyak inefisiensi dari sistem legacy ketika kami menggantinya dengan solusi SDM yang lebih terintegrasi,” ujar Esler. Dalam hal ini, Canada Post melirik SAP untuk memperbarui sistem pengelolaan SDM-nya. Yang tak kalah penting, institusi bisnis plat merah ini juga memutuskan untuk mengintegrasikan sistem Human Capital Management (HCM) ke dalam paket tersebut.

Kini, departemen SDM bisa melacak secara digital seluruh informasi ketrampilan (skill) yang dimiliki karyawan, menentukan prioritas pelatihan, penjadualan tenaga kerja dan penanganan sejumlah masalah kepegawaian lainnya. Fungsi-fungsi SDM seperti payroll, yang tadinya dialihdayakan, kini kembali ke pangkuan Canada Post. Dari situ saja, perusahaan berhasil menghemat jutaan dolar.

Perbaikan yang dilakukan Canada Post ketika menerapkan peranti lunak HCM memang wajar. Namun, potensi HCM sesungguhnya bisa lebih dari sekedar meningkatkan penghematan biaya dari sisi SDM, yakni menjadikan database karyawan sebagai peranti strategis untuk membangun teamwork yang kuat dan mendorong keuntungan bisnis yang lebih besar bagi perusahaan.

Sayang, menurut Craig Symons, principal analyst dari Forrester Research, hal itu belum bisa dipenuhi solusi HCM. “HCM masih berada pada tahap paling dini. Hanya segelintir vendor yang benar-benar mengembangkannya saat itu,” imbuhnya. Cara pandang yang masih konvensional dari sebagian besar perusahaan terhadap penegelolaan SDM-nya dituding sebagai salah satu biang keladinya. Tak pelak, pasar HCM pun tak mudah untuk bertumbuh.

Selama ini, departemen HR selalu dipandang sebagai administrative cost center. Human Resource Management Systems (HRMS) yang mengotomatisasikan sebagian besar fungsi administrasi SDM dipandang sudah cukup memadai. Apalagi, tren mengalihdayakan fungsi-fungsi administrasi SDM ke pihak ketiga juga masih kuat, sehingga banyak kalangan yang mempertanyakan peran strategis apa yang bisa dilakukan suatu departemen SDM.

Namun, munculnya HCM setidaknya bisa mengubah pandangan tersebut dan memungkinkan departemen HR memainkan berbagai peran yang lebih strategis. Aplikasi ini menjanjikan sajian informasi yang lebih mendalam mengenai ketrampilan dan kapabilitas leadership yang dimiliki seorang karyawan. Juga, informasi yang sangat penting untuk membantu perusahaan dalam menyusun perencanaan strategis dan membangun tim bisnis yang kuat.

Tak Cuma Menghitung Gaji

Solusi HCM antara lain mencakup perencanaan tenaga kerja, seperti forecasting penambahan maupun perampingan tenaga kerja, dan akuisisi, yang meliputi rekrutmen tenaga kerja bantu atau paruh waktu. Termasuk juga fungsi manajemen seperti pengelolaan pelatihan, kinerja dan perencanaan suksesi, serta fungsi pengoptimalan tenaga kerja, yakni menempatkan orang yang tepat pada posisi yang tepat dan pada waktu yang tepat. Seluruh fungsi tersebut umumnya di bawah kendali solusi HCM.

Namun, agar solusi ini bisa diimplementasikan dengan baik, dibutuhkan kerjasama yang erat antara pengelola TI dengan pengelola HR. Direktur riset Gartner, Jim Holincheck, mengungkapkan bahwa pengelola TI, misalnya CIO, perlu mendukung eksekutif HR dalam hal bagaimana teknologi bisa mengontribusi pada departemennya. Peluang dari perspektif teknologi ini seringkali tidak disadari para pengelola SDM.

Ketika suatu perusahaan memutuskan untuk mengimplementasikan solusi HCM, hal pertama yang perlu dilakukan sang CIO adalah duduk bersama-sama dengan pengelola HR mendiskusikan masalah kepegawaian perusahaan.

Sebagai contoh, keahlian seperti apa yang dimiliki karyawan, kemajuan karir seperti apa yang akan mereka dapatkan, jadual pelatihannya seperti apa, dan seterusnya. “Informasi-informasi semacam itu membantu para manajer mengambil keputusan yang tepat mengenai karyawan dan tugas apa yang harus dikerjakannya,” ujar Symons dari Forrester.

Pembicaraan selanjutnya adalah bagaimana data-data mengenai karyawan tersebut diolah lebih lanjut untuk menghasilkan business value yang nyata bagi perusahaan. Tujuannya adalah untuk mendapatkan satu repository atau tempat penyimpanan yang berisi informasi seluruh karyawan, sehingga memungkinkan melakukan fungsi analisis tenaga kerja.

Selain itu, sebuah portal korporat, dimana para karyawan dan manajernya dapat melihat data kepegawaiannya sendiri, seperti informasi jaminan kesehatan (medical benefit), jatah cuti, peluang e-learning dan evaluasi kinerja terkini juga perlu mendapat prioritas, ujar Symons. Hal itu, selain memangkas pengeluaran administrasi SDM, juga akan memperjelas manfaat dari suatu solusi HCM.

Penerapan solusi SDM lazimnya dimulai dari the biggest areas of pain yang dialami perusahaan. Symons memberikan contoh, jika suatu perusahaan mengalami pertumbuhan yang pesat, sehingga kebutuhan tenaga kerja meningkat, perusahaan tersebut mungkin akan fokus dulu pada solusi talent management dan rekrutmen. /aa


Read more...
0

Membangun Sinergi Positif Antara TI dan Unit Bisnis

Departemen Teknologi Informasi (TI) seringkali mendapat keluhan yang cukup keras dari unit bisnis berkaitan dengan kinerja layanan yang diberikan oleh departemen TI. Keluhan-keluhan unit bisnis, seperti kinerja sistem yang buruk, respon aplikasi yang lambat, service yang seringkali tidak tersedia saat dibutuhkan, dan lain sebagainya muncul begitu saja. Anda pasti berpikir, apa yang salah? Network sudah menunjukkan kinerja yang baik, tetapi kenapa keluhan keras tetap saja muncul. Masalah seperti itu selalu muncul dalam dinamika hubungan organisasi TI dan unit bisnis di manapun. Penyebabnya adalah, adanya kesenjangan dan perbedaan sudut pandang antara departemen TI dan unit bisnis dalam memandang suatu layanan TI.

Bagaimana membangun sinergi antara keduanya?

Pada suatu acara rapat, seorang network manager bank yang cukup besar sambil tertawa lebar mengatakan bahwa kinerja jaringannya terus menunjukkan peningkatan. Target availability jaringannya pada bulan berjalan sebesar 99,5 % berhasil terlampaui. Bagi sang network manager, kinerja seperti itu menjadi salah satu prestasi besarnya, mengingat upaya yang dilakukannya selama ini untuk mencapai target availability sebesar itu.

Tetapi, senyum yang semula lebar tiba-tiba berubah menjadi senyum kecut, ketika dalam rapat koordinasi dengan CIO (chief information officer) prestasi sebaik itu menjadi tak berarti dan justru peserta rapat menjadi sasaran kemarahan CIO. Penyebab kemarahannya adalah karena departemen TI mendapat keluhan yang cukup keras dari unit bisnis berkaitan dengan kinerja layanan yang diberikan oleh departemen TI. Keluhan-keluhan unit bisnis, seperti kinerja sistem yang buruk, respon aplikasi yang lambat, service yang seringkali tidak tersedia saat dibutuhkan, dan lain sebagainya muncul begitu saja. Anda pasti berpikir, apa yang salah? Network sudah menunjukkan kinerja yang baik, tetapi kenapa keluhan keras tetap saja muncul.

Masalah seperti itu selalu muncul dalam dinamika hubungan organisasi TI dan unit bisnis di manapun. Penyebabnya adalah, adanya kesenjangan dan perbedaan sudut pandang antara departemen TI dan unit bisnis dalam memandang suatu layanan TI. Departemen TI cenderung berpikir melalui pendekatan bottom-up.

Mereka akan melihat persoalan TI pada tingkat yang sangat detil. Persoalan TI adalah persoalan database, network, job schedules, dan lain sebagainya. Hal itu ternyata sangat berpengaruh terhadap pola hubungan TI – unit bisnis. Pada kondisi semacam itu, departemen TI terjebak pada situasi seolah-olah perangkat TI bekerja hanya untuk melayani orang-orang TI dan kepuasan departemen TI sendiri. Mereka lupa pada fungsi utamanya sebagai kontributor terhadap kesuksesan bisnis secara keseluruhan.

Sebagai ilustrasi, contoh berikut dapat memberikan gambaran yang cukup jelas. Ketika kualitas layanan menjadi tema sentral banyak perusahaan, pola hubungan antar departemen diterjemahkan dalam perjanjian service level, semacam kontrak internal bagaimana satu departemen melayani departemen lainnya sebagai internal customer.

Saat perjanjian itu menyentuh departemen TI, kesenjangan mulai muncul. Karena perbedaan bahasa dan protokol yang digunakan, maka departemen TI akan mendominasi penyusunan perjanjian service level tersebut, sehingga yang muncul adalah terminologi-terminologi teknis yang tidak dimengerti atau bahkan tidak menjadi perhatian unit bisnis. Misalnya, tingkat ketersediaan jaringan, response time jaringan, kecepatan proses batch, dan lain sebagainya.

Bahkan, yang lebih parah, service level yang diberikan akan mengacu pada pendekatan fraksional seperti perjanjian kinerja jaringan, perjanjian kinerja server, perjanjian kinerja database, dll dan bukan pada pendekatan integral yang dibutuhkan bisnis, yaitu kualitas delivery sistem secara end to end.

Di sisi lain, manajer bisnis selalu melihat apakah operasi back office berjalan lancar, atau apakah customer terlayani dengan baik, dan apakah bisnis dapat dijalankan dengan biaya yang rendah. Suatu layanan bisnis tergantung pada serangkaian proses yang menjamin semuanya tereksekusi dan memiliki kinerja seperti yang diharapkan. Karenanya, pendekatan service level yang bersifat fraksional tidak akan mampu menyatu dalam sudut pandang seperti itu.

Lalu, langkah apa yang perlu ditempuh untuk mengatasi kesenjangan tersebut? Manajer TI dan bisnis harus mulai berkolaborasi untuk mentranslasikan dan memetakan sasaran bisnis kepada prioritas TI. Tujuannya adalah membangun pola layanan yang menghubungkan elemen-elemen teknologi kepada sasaran bisnis dan menambahkan konteks bisnis dalam setiap pengambilan keputusan TI. Output dari proses itu adalah tercapainya Service Level Agreement (SLA) antara Departemen TI dan Unit Bisnis dengan menggunakan skala-skala bisnis sebagai parameternya.

Untuk dapat membuat perjanjian service level yang lebih mampu menjembatani kepentingan bisnis, beberapa langkah berikut perlu dijalankan :

1. Kategorisasi kritikalitas layanan bisnis.

Unit bisnis harus secara jelas mampu memetakan kritikalitas dari beragam produk dan layanannya, paling tidak menjadi 3 kategori penting: critical, medium dan low priority. Dari sudut pandang TI, informasi ini sangat penting untuk beberapa alasan :

  • Alokasi dan prioritisasi resource di lingkungan TI. Departemen TI selalu bekerja dengan beragam keterbatasan, baik sumber daya manusia maupun kapasitas sistem. Dengan kategorisasi yang jelas, maka resources TI dapat dialokasi dan diprioritisasi atas dasar kebutuhan paling kritis unit bisnis.
  • Implementasi Quality of Services (QoS). Secara sistem, TI akan mampu men set-up perangkat atas dasar tingkatan quality of service masing-masing produk/layanan. Service yang memiliki kritikalitas lebih tinggi akan mendapatkan kapasitas resource dan prioritas yang lebih besar, dibanding service dengan kritikalitas yang lebih rendah.
  • Alokasi anggaran yang lebih rasional.


2. Tentukan kebutuhan kinerja masing-masing layanan (availability dan performance).

Setelah kategorisasi dilakukan, pekerjaan berikutnya adalah bahwa departemen TI dan unit bisnis harus menyepakati kinerja layanan, yaitu menyangkut availability dan performance untuk masing-masing kategori. Beberapa contoh parameter yang harus disepakati antara lain:

  • Berapa lama layanan boleh terhenti dalam satu jangka waktu tertentu, baik karena alasan yang direncanakan maupun karena kerusakan sistem?
  • Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh sistem untuk menyelesaikan satu kali transaksi?
  • Berapa lama waktu yang ditoleransi untuk memulihkan sistem jika terjadi kerusakan?

Hal ini sangat penting untuk menjadi pengetahuan bersama, karena ada korelasi yang sangat tinggi antara availability dan performance yang dituntut dengan alokasi anggaran yang harus disediakan untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Sebagai contoh, untuk menaikkan availability jaringan dari 99,0 % menjadi 99,9 %, biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai 3-4 kalinya, dan kebutuhan ini meningkat terus secara eksponensial jika availability–nya ingin ditingkatkan lagi menjadi 99,99%.

Dengan kesadaran ini, maka tuntutan unit bisnis terhadap kinerja layanan menjadi jauh lebih realistis, karena unit bisnis secara sadar mengetahui berapa biaya/ongkos produksi untuk setiap produk/layanan yang dikelolanya.

3. Bangun Service Level Agreement atas dasar prioritas bisnis.

Setelah kedua belah fihak mengetahui parameter-parameter kinerja yang akan dicapai, maka parameter tersebut harus dituangkan dalam kontrak perjanjian service level. SLA yang ditelurkan dari metode ini akan secara langsung menyentuh kepentingan dan prioritas bisnis.

4. Gunakan SLA yang disepakati untuk membangun sebuah service model.

Tujuan dari pembuatan service model ini adalah untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang interkorelasi antara produk/layanan bisnis dengan infrastruktur/sistem TI yang melayaninya. Model ini mendefinisikan IT resources mana yang kritikal untuk menjamin kelangsungan operasi layanan bisnis.

Bagi departemen TI , ketersediaan model ini sangat penting untuk melakukan service impact analysis, yaitu analisis pengaruh kegagalan satu komponen terhadap keseluruhan layanan sistem. Dengan menghubungkan model tersebut ke dalam komponen – komponen TI dan menyimpannya dalam tools configuration management dan asset management yang terpusat, setiap perubahan dapat dijejaki dan dianalisis pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem.

5. Lakukan pengukuran kinerja secara konsisten dan terus menerus.

Karena sasaran akhir dari layanan TI adalah kepuasan unit bisnis sebagai user, maka kontrol terhadap pencapaian kinerja sesuai service level yang disepakati menjadi penting. Di beberapa perusahaan, mekanisme kontrol ini dilakukan dengan membentuk quality committee, yang secara rutin mengadakan quality meeting untuk membahas pencapaian kinerja dan rencana perbaikan sistem. Quality committee ini harus dikendalikan oleh senior manajemen guna mendapatkan kekuatan komitmen dari seluruh pihak yang terlibat.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip dan langkah-langkah tersebut di atas diharapkan bisa didapatkan suatu harmonisasi operasional departemen TI dan unit bisnis, dimana keduanya akan dapat berbicara dalam bahasa dan protokol yang sama. Begitu juga, ekspektasi bisnis dan TI akan dapat lebih terukur dan realistis, memiliki prioritas kerja yang seirama, karena sama-sama terikat dalam satu kontrak service level.

Di samping itu, organisasi TI akan memperlihatkan tingkat respons yang tinggi terhadap permasalahan operasi bisnis, karena kinerja keduanya diukur menggunakan parameter yang sama. [R. Gatot Prio Utomo - Praktisi dan Pengamat IT Management]


Read more...
0

Keberanian “Bill Maguire” Mengambil Risiko

Sejumlah langkah yang diambil Bill Maguire ketika membangun sistem TI Virgin America, meski dipandang sebagai terobosan, tetapi juga dianggap mengundang risiko. Salah satunya adalah keberanian menggunakan peranti open-source, suatu hal yang jarang dilakukan maskapai-maskapai penerbangan di sana. Salah satu kekhawatirannya adalah masalah support ketika terjadi permasalahan dengan peranti lunaknya. Tapi, Maguire menepis kekhawatiran itu karena saat ini dukungan dari komunitas open source menurutnya sudah cukup memadai bahkan terbilang luar biasa. “Kami mendapatkan update setiap malam dari komunitas ini untuk spam filter yang kami gunakan,” klaimnya.

Selain itu, keputusan Virgin untuk menggunakan sistem reservasi aiRES yang belum teruji juga dipandang bakal menimbulkan permasalahan. Maguire sudah menyadari hal ini jauh sebelumnya. Bahkan ia tak menampik kemungkinan kalau implementasi aiRES ini bisa berjalan kurang mulus. ”Sistem reservasi memang memberikan risiko paling tinggi bagi bisnis ini,” aku Maguire.

Tapi, menurut Maguire, sistem infrastruktur aiRES memiliki tingkat redundancy untuk meminimalkan dampak ketika secara tak terduga mengalami down. Untuk meminimalkan risiko secara keseluruhan, Maguire dan timnya menjalin kerjasama erat dengan Cendant untuk memastikan kinerja, stabilitas dan skalabilitas sistem ini sanggup memenuhi kebutuhan beban kerja Virgin America.

Selain itu, ketika pembangunan sistem ini masih berjalan, Maguire melakukan perjalanan rutin ke markas IBS di Delhi, India untuk memeriksa kesiapan aiRES. Ia pun membangun relasi erat dengan para software developer agar mereka mengetahui jalan pikiran dan ekspektasi Virgin America. Kesiapan dukungan 24/7 pun ketika sistem mulai berproduksi pun tak luput dari perhatian Maguire.

”Intinya kami langsung bertatap muka dengan mereka untuk menegaskan betapa pentingnya sistem ini bagi kami,” ujar Maguire.

Di Balik Sistem TI Virgin America
Teknologi apa saja yang ada di balik infrastruktur TI yang dibangun Virgin America? Anda bakal menjumpai sistem gado-gado yang mengombinasikan teknologi proprietary dengan open-source.

Untuk teknologi database-nya, Virgin menggunakan MySQL dan Oracle. Sementara untuk development tools, perusahaan ini bertumpu pada Apache Struts, J2EE, Perl, Self Scripts dan SQL Development.

Sebagai teknologi deployment, Apache digunakan untuk web servernya, sementara server aplikasi menggunakan teknologi Jboss dan Tomcat. Untuk sistem operasi, selain Linux, Virgin juga mengandalkan MS Server 2005.

Dari sisi perangkat keras, Virgin mempercayakan server-servernya pada Hewlett-Packard, sementara infrastruktur jaringannya berintikan solusi-solusi buatan Cisco, dan firewall-nya kepada Sonic./aa


Read more...
0

Terobosan Berani Berorientasi Biaya

Gaya Maguire yang cost-oriented sangat kentara ketika ia menentukan peranti-peranti lunak yang akan digelar Virgin America. Ia pun memanfaatkan berbagai jurus untuk memangkas biaya peranti lunak, mulai dari negosiasi licensing secara kreatif sampai memanfaatkan peranti-peranti open source secara maksimal. Ia pun berupaya menerapkan pola lisensi yang menggunakan concurrent user ketimbang named user, sebuah pola yang lebih disukai kebanyakan vendor peranti lunak. Dalam hal server, ia pun lebih menyukai lisensi sesuai ukuran atau CPU power-nya.

”Saya memahami bagaimana menentukan ukuran sebuah sistem TI dan mengonfigurasi utilisasinya sehingga kami tidak usah membayar lebih dari yang kami perlukan,” ujarnya.

Selain itu, Maguire pun lebih banyak mengeksplorasi teknologi-teknologi berbiaya rendah dan seberapa banyak fitur-fitur yang ditawarkan sebuah peranti lunak bisa bermanfaat bagi perusahaan, dan bagaimana sebuah aplikasi dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Ia memberikan contoh solusi-solusi buatan vendor peranti lunak besar seperti Microsoft atau Oracle. Menurut dia, vendor-vendor itu menghabiskan jutaan dolar untuk mengembangkan peranti lunak sementara hanya 10 persen dari fitur-fitur yang ditawarkan peranti lunak benar-benar digunakan pengguna.

”Contohnya (Microsoft) Word. Saya hanya menggunakan beberapa fitur saja. Bagi saya, terpenting adalah bagaimana membuat sebuah server maupun aplikasi melakukan kerja lebih banyak,” ujarnya.

Saat ini, sebagian aplikasi TI dibuat sendiri oleh Virgin America, antara lain spam filter, load-balancing serta change management. Semuanya berbasis kode open-source.

Penggunaan open source ini memberikan penghematan cukup signifikan bagi Virgin America. Maguire mengestimasi jika menggunakan peranti lunak load-balancing versi tradisional pihaknya harus mengeluarkan sekurangnya 80.000 dolar AS, sementara dengan menggunakan peranti lunak open source praktis pihaknya tidak mengeluarkan biaya apa-apa.

Untuk aplikasi keuangan, Maguire pun memilih aplikasi yang lebih ekonomis, yakni Microsoft Dynamic GP (dulu bernama Great Plains). Biaya implementasinya sekitar 500.000 dolar AS. Sementara jika ia memilih Oracle, ia memperkirakan harus menyiapkan dana 2 sampai 3 juta dolar. Pemilihan ini tidak semata mempertimbangkan faktor biaya saja, tetapi juga timing dan kematangan peranti lunak itu sendiri.

”Beberapa tahun lalu, Great Plains belum cukup handal untuk bisa mendukung operasi seperti perusahaan kami. Namun sekarang sudah memadai,” kilah Maguire.

Virgin America pun membangun sendiri booking-engine berbasis Web. Maguire sendiri terjun langsung mengawasi pembuatan front end situs Web-nya yang eksekusinya diserahkan ke perusahaan desain Web Anomaly, sementara coding untuk back end-nya diserahkan ke perusahaan peranti lunak India, NIIT.

Hosted solution dan alihdaya
Sistem customer relationship management (CRM) pun tak luput dari perhatian Virgin America. Tidak seperti maskapai penerbangan lainnya, Virgin America memiliki keuntungan bisa membangun sebuah sistem dari nol, tidak terbebani masalah dengan integrasi data dan sebagainya.

Uniknya, sistem CRM yang dibangun merupakan paduan antara hosted solution dengan sistem yang dibangun sendiri. Sistem customer feedback-nya menggunakan solusi hosted dari RightNow. Sementara data yang diperoleh akan diproses oleh sebuah sistem yang dibangun Virgin America sendiri.

Perusahaan ini memiliki sasaran cukup ambisius dari sistem CRM yang dibangunnya. Seperti dipaparkan Pawlowski, sistem ini bukan untuk mencatat preferensi serta buying habit kastamer seperti minuman apa yang dipesannya pada penerbangan terakhir, tetapi lebih kepada insiden-insiden yang memiliki dampak besar. Contohnya kejadian-kejadian yang membuat kecewa kastamer, misalnya kehilangan bagasi.

”Nantinya flight attendant kami akan mengetahui informasi ini, dan memberi pesan kepada kastamer bahwa kami memperhatikan masalahnya dan berupaya melakukan sesuatu untuk meningkatkan layanan,” papar Pawlowski.

Masih dalam konteks pelayanan kastamer, Virgin America juga membangun call center. Alih-alih membangun sendiri fasilitas khusus call center, atau mengelola sendiri tim home-agent seperti yang dilakukan JetBlue, Virgin mengalihdayakan call centernya ke tangan WillowCSN, sebuah provider solusi call center virtual bagi perusahaan-perusahaan Fortune 500.

Para home-based CyberAgent CSR yang disediakan WillowCSN ini akan menangani seluruh pertanyaan mengenai reservasi dan informasi penerbangan yang masuk ke nomor toll-free customer service Virgin America.

Pada tahap awal, Virgin America akan mengambil 200 CyberAgent WillowCSN untuk dilatih mengenai sistem reservasi penerbangan dan budaya perusahaan.

Terobosan berani
Dari seluruh sistem TI yang dibangun Virgin dari nol, terobosan yang terbilang paling berani adalah sistem reservasinya. Sistem reservasi boleh dibilang menjadi inti dari sistem TI maskapai penerbangan manapun.

Apapun nama sistem itu, sistem reservasi tak cuma menangani reservasi saja, tetapi juga inventory control, tarif dan ticketing, jadwal, bagasi dan interface dengan fungsi-fungsi kendali departure. Selain itu, sistem ini juga terintegrasi dengan sistem-sistem lain yang dijalankan sebuah maskapai penerbangan, mulai dari sistem flight operations sampai sistem booking berbasis-Web.

Maskapai-maskapai penerbangan yang sudah mapan kebanyakan mengoperasikan sistem legacy yang sudah teruji, seperti Sabre atau Shares. Tapi, sayangnya, sistem-sistem yang kaya fitur seperti ini berjalan di atas mainframe, pemeliharaannya mahal dan sulit untuk di-customize.

Sementara itu, sejumlah low-cost airline seperti Airtran dan JetBlue memilih sistem Open Skies dari Navitaire yang lebih murah dan memiliki sistem reservasi berbasis Web yang lebih sederhana.

Meski beda kelas, kedua peranti lunak di atas sama-sama sudah cukup lama beredar. Perusahaan yang menerapkannya pun mulai menghadapi tantangan untuk meng-upgrade-nya, atau beralih ke sistem baru.

Di sisi lain, sistem reservasi baru yang lebih efisien namun powerful mulai berkembang. Nah, sebagai maskapai penerbangan baru yang memiliki kesempatan untuk membangun sistem TI-nya dari nol, Virgin memiliki kesempatan dan keleluasaan untuk memilih sistem reservasi yang lebih baru.

Pilihan pun jatuh kepada aiRES, sebuah sistem reservasi penerbangan gres yang dirilis pertama kali pada September 2005. Fleksibilitas dan desainnya yang customer-centric membuat Virgin memilih solusi yang pembangunannya didanai Cendant serta dikembangkan pengembang peranti lunak India, IBS.

Selain Virgin America, baru dua maskapai penerbangan yang telah meneken kontrak untuk menggunakan aiRES, yakni Virgin Blue dari Australia dan WestJet dari Kanada. Keduanya juga low cost airline. WestJet tercatat sebagai launch customer aiRES.

Sistem ini dibangun di atas standar open architecture dengan sebuah layer database, sebuah layer aplikasi dan sebuah layer Web services. Arsitektur yang bersifat open ini memungkinkan digelarnya sejumlah layanan-layanan yang memanjakan kastamer, misalnya proses booking tiga langkah, dan proses check-in tujuh detik di airport serta berbagai bentuk efisiensi lainnya yang bisa meningkatkan customer service.

“Solusi ini cepat, fleksibel dan sangat mudah pengonfigurasiannya,” puji Maguire. ”Kami bisa menjalankan bisnis sesuai keinginan kami, tidak perlu didikte seperti kalau menggunakan sistem Sabre atau Navitaire.”

Selain itu, aiRES juga memungkinkan sebuah maskapai penerbangan memperluas layanan kastamernya dengan mengintegrasikan distribution channel-nya dengan layanan travel lainnya.

Sebagai contoh, Virgin bisa mengintegrasikan layanannya dengan pengelola hotel atau rental mobil. Seorang pelanggan bisa melakukan check-in ketika check-out dari hotel, atau menerima boarding pass ketika mengembalikan mobil ke counter rental mobil di airport. Bahkan, notifikasi ke calon penumpang mengenai penundaan atau perubahan jadwal penerbangan kini bisa dilakukan langsung secara real time.

“Dari sudut pandang bisnis, sistem baru ini terbilang luar biasa karena memberikan fleksibilitas lebih tinggi ketimbang sistem generasi lama. Perusahaan kami bisa tumbuh tanpa ada batasan,” ujar Brian Clark, vice president planning and sales, Virgin America, eksekutif yang berperan besar dalam pemilihan aiRES.

Menunggu take off
Sejauh ini, hampir seluruh pembangunan infrastruktur TI di Virgin America telah rampung. Maguire dan timnya telah menjalankan sebagian besar jaringan, serta sudah mengoperasikan datacenter dan peranti monitoringnya. Aplikasi human resource, keuangan dan flight operations pun sudah berjalan.

“Yang tersisa adalah sistem reservasi dan production website-nya,” ujar Maguire, sambil menambahkan bahwa keduanya diharapkan sudah berjalan baik sejak awal tahun ini.

Tahun 2007 ini boleh dibilang merupakan tahun yang kritikal bagi Virgin. Penundaan operasi penerbangan bisa berujung lonceng kematian bagi maskapai penerbangan manapun.

Pasalnya, sampai saat ini Virgin masih menunggu persetujuan final dari DoT (Department of Transportation) AS. Upaya maskapai-maskapai penerbangan besar seperti Continental, Delta, United dan American yang mengajukan keberatan kepada DoT atas permohonan ijin operasi Virgin dengan alasan komposisi kepemilikan saham setidaknya juga menghambat langkah Virgin untuk bisa segera tinggal landas.

Seperti diketahui, regulasi setempat melarang investor asing memiliki lebih dari 50 persen saham kepemilikan atau lebih dari 25 persen suara di dalam sebuah maskapai penerbangan.

Belum lagi melihat antisipasi-antisipasi apa yang dilakukan low cost airlines lainnya. JetBlue, yang disebut-sebut bakal sebagai kompetitor utama Virgin America misalnya juga telah mengambil ancang-ancang untuk meningkatkan customer experience-nya. Belum lama ini, perusahaan itu memenangkan lelang dari Federal Communications Commission (FCC) satu kavling frekuensi gelombang radio untuk komunikasi dari udara ke darat. Jika mendapatkan persetujuan dari FAA, tentu membuka peluang besar bagi JetBlue untuk menyediakan layanan Wi-Fi in the sky.

Namun, meski setiap penundaan sama saja dengan hilangnya peluang mendapatkan uang, Virgin masih berkesempatan untuk menarik keuntungan dari kondisi itu, setidaknya bagi divisi TI-nya.

Selama penantian itu, low cost airline lainnya yang menggunakan aiRES, yakni WestJet yang bermarkas di Calgary, Kanada tak lama lagi akan go-live. Dari sini, Virgin dapat memetik pelajaran sesungguhnya dalam penggunaan aplikasi aiRES, dan mengambil langkah-langkah antisipasi yang dibutuhkan ketika giliran mereka tiba.

Untuk sementara waktu, Virgin America memang harus bersabar sebelum bisa mewujudkan janji-janjinya. Agaknya, mereka harus mengusung tag line perusahaannya: an airline we hope you’ll love lebih lama lagi sebelum bisa mengubahnya menjadi an airline you’ll love. /aa


Read more...
0

Dengan TI Membangun Bisnis “Low-Cost, High Value”

Dalam waktu setahun, Virgin America membangun sebuah ekosistem TI dari nol untuk mendukung operasi perusahaan penerbangan yang efisien namun bernilai tinggi. Apa saja yang dilakukannya? Dulu, naik pesawat terbang bagi sebagian besar orang hanyalah sekedar impian. Naik pesawat terbang identik dengan harga tiket mahal, dan eksklusif bagi kalangan mampu. Tapi, belakangan kondisi itu berubah. Selama lebih dari satu dekade terakhir, dunia penerbangan komersial global semakin marak, diwarnai dengan hadirnya berbagai low-cost airlines atau no-frills airlines.

Sesuai namanya, low-cost airlines menawarkan harga tiket jauh lebih murah ketimbang airline tradisional. Namun, hal itu harus ditebus dengan “sedikit” mengorbankan kenyamanan penumpang. Full services seperti yang diberikan airline tradisional dipangkas. Layanan-layanan seperti minuman gratis misalnya, ditiadakan.

Namun, pelan-pelan citra low cost airline yang mengesampingkan kenyamanan bagi penumpang agaknya akan segera berubah. Sejumlah low-cost airline, baik yang sudah eksis maupun yang akan segera beroperasi mengambil ancang-ancang melakukan terobosan untuk meningkatkan customer experience-nya.

Hal itu yang menjadi salah satu tujuan low-cost airline Virgin America. Sebagai maskapai penerbangan debutan, yang baru akan melakukan penerbangan perdananya tahun ini, Virgin America bercita-cita membangun citra baru di dunia low-cost airline.

Harga tiketnya setara dengan harga tiket terendah untuk penerbangan cross-country pulang pergi seharga dibawah 300 dolar, seperti yang ditawarkan maskapai penerbangan JetBlue. Tapi, lebih dari itu, perusahaan ini ingin memberikan customer experience layaknya maskapai penerbangan kelas dunia seperti Singapore Airlines.

Diferensiasi apa yang akan ditawarkan Virgin America memang belum sepenuhnya diungkap para petinggi perusahaan itu sebelum mereka benar-benar beroperasi tahun ini.

Setidaknya publik baru mengetahui rute perdana maskapai ini adalah San Fransisco ke New York, memiliki armada terdiri dari 34 unit pesawat gres Airbus A320 serta penawaran fasilitas in-flight yang nyaman untuk penumpang, misalnya penggunaan kursi penumpang buatan Recaro dengan sandaran tipis sehingga memberikan ruang kaki lebih lega bagi penumpang di belakangnya. Selain itu, calon penumpang pun akan lebih mudah mendapatkan tiket karena 70 persen tiket akan mereka bisa peroleh melalui Web.

Pada intinya, seperti yang diungkapkan Todd Pawlowski, vice president guest service and airports, Virgin America, pihaknya ingin memberikan kastamer lebih dari apa yang mereka bayar dan meningkatkan kualitas guest experience-nya.

“Akan ada lebih banyak full service. Tapi kami tidak akan membuat kastamer harus membayar lebih untuk menikmatinya,” tegasnya.

Nah, yang tak kalah menarik adalah bagaimana Virgin America bisa mewujudkan segala fasilitas layaknya airline tradisional itu. Perusahaan ini membangun visi yang jarang dilakukan maskapai penerbangan debutan lainnya: menjadikan TI sebagai kunci dengan membangun strategi TI yang ramping, murah dan efektif.

Low cost, high value
Virgin America sejak awal sadar bahwa kemampuannya untuk menawarkan diferensiasi layanan kepada kastamer yang peka terhadap harga akan sangat bergantung pada bagaimana menjaga biaya TI tetap rendah.

Layaknya perusahaan startup, Virgin America harus melakukan banyak hal dengan dana terbatas, meski termasuk yang terbesar untuk ukuran low-cost airline. Modal awal perusahaan tidak lebih dari 177,3 juta dolar AS, sebagian untuk membeli lisensi penggunaan nama Virgin yang dibeli dari Virgin Management milik entrepreneur terkemuka asal Inggris, Sir Richard Branson.

Upaya untuk membangun TI yang kuat namun efisien pun tercermin dari keputusan perusahaan itu untuk merekrut Bill Maguire sebagai chief information officer (CIO) Virgin America.

Membaca rilis pers terkait dengan penunjukkan Maguire terlihat jelas bahwa Virgin America terkesan akan gaya kepemimpinan pria 53 tahun ini yang cenderung cost oriented.

Prestasinya menekan cost TI sebesar 4 juta dolar per tahun ketika menjabat sebagai CIO Aspect Communications, serta menghemat biaya sebesar 3 juta dolar dengan melakukan pembenahan infrastruktur TI ketika ia menjabat juga sebagai CIO di Legato Systems adalah nilai plus yang membuat Virgin America meminangnya.

"Bill adalah seorang technology leader yang inovatif dan fokus pada biaya,” puji Fred Reid, CEO Virgin America. “Ia dapat membuktikan bahwa ia dapat memanfaatkan teknologi untuk secara efektif menyeimbangkan cost control di dalam sebuah perusahaan jasa high-profile yang penuh dengan berbagai macam tuntutan.”

Maguire pun sadar bahwa sebagai perusahaan start-up, Virgin America memiliki sumberdaya yang relatif terbatas. Sedapat mungkin setiap dolar yang dihemat dari sebuah sistem TI, katakanlah memangkas sistem back-end TI yang tidak memberikan value bagi kastamer, bisa dialihkan ke hal-hal yang memberikan dampak lebih besar bagi kastamer. Misalnya, pembangunan kios-kios layanan di setiap terminal bandara.

Oleh karena itu, begitu ia menduduki kursi CIO Virgin Airlines, ia pun merencanakan untuk menggelar sebuah paduan sistem yang berbiaya rendah (bahkan dalam beberapa kasus tidak memerlukan biaya), efisien serta agile untuk membangun basis bisnis Virgin America yang bergaya “low-cost, high-value”.

“Kami hadir pada saat teknologi sudah berkembang jauh lebih ringkas, cepat dan fleksibel,” ujarnya. ”Jadi kami tidak perlu menggelar mainframe untuk menjalankan sistem-sistem kompleks yang dimiliki airline besar seperti United dan American.” /aa


Read more...
0

Berbagai Tantangan Manajer TI Dewasa Ini

Perubahan lingkungan bisnis dan Teknologi Informasi (TI) semakin memberi tantangan berat bagi kalangan manajer TI. Bagaimana Anda melihatnya dan apa saja tantangan itu?

Sebagai seorang manajer Teknologi Informasi (TI), yang secara pengetahuan didukung oleh pendidikan formal sekolah komputer bergengsi ditambah dengan pengalamannya bertahun-tahun bekerja di perusahaan TI, membuat Kiko tidak berpuas diri. Dia sadar, betapapun lulusan perguruan tinggi dan dengan pengalaman yang cukup banyak, namun masalah yang dihadapinya sehari-hari semakin menyadarkan dirinya bahwa pengetahuan dan ketrampilannya kudu ditambah. Itu kalau dia tidak ingin ketinggalan dibandingkan teman-teman lainnya, bukan saja yang seangkatan, melainkan juga dari angkatan yang lebih baru.

Namun, yang lebih penting lagi, bukan bersaing dengan teman-teman seangkatannya. Kiko sangat menyadari bahwa kemajuan dan perkembangan TI sangat pesat, sehingga perlu kejelian dalam memahami berbagai produk maupun solusi, dari yang baru hingga yang sudah lama, dan bagaimana relevansinya dengan tuntutan pekerjaan yang dihadapi saat ini.“

Kalau kita ikuti terus perkembangan TI saat ini, banyak sekali perkembangan baru dan bahkan lebih canggih. "Tapi, saya tidak sembarangan mencoba-coba teknologi yang baru. Harus lebih selektif,” ujar Kiko saat ditanya bagaimana pandangannya menghadapi kemajuan TI dewasa ini.

Adi, yang juga seorang manajer TI sebuah bank, juga mengamini apa yang diungkapkan Kiko. “Tidak setiap kemajuan teknologi kami adop untuk diterapkan di sini. Kami harus selektif, karena yang kami tuju adalah bagaimana teknologi yang kami terapkan benar-benar dapat menjawab kebutuhan yang kami hadapi. Jadi tidak semata-mata menerapkan teknologi baru yang lebih canggih saja,” ungkap Adi di kantornya yang sangat asri di bilangan Bintaro.

Hal senada juga ditegaskan oleh Uun Widhi Untoro, President Director, IFS Solutions Indonesia. “Dalam menerapkan suatu aplikasi, memang tidak selalu harus bertumpu pada teknologi yang baru dan canggih saja. Yang pertama-tama harus dicari tahu adalah kebutuhannya apa, kemudian tujuan penerapannya apa, targetnya apa, baru bagaimana hal itu bisa disolusi,” tegas Uun.

Memang, dalam menerapkan suatu teknologi faktor kelangsungan dukungan yang diberikan menjadi pertimbangan sangat penting. Jangan sampai teknologi yang baru diterapkan ternyata sudah jauh tertinggal, sehingga tak nyambung dengan perkembangan dan kemajuan yang baru. Karenanya, dalam berbagai aplikasi, skalabilitas atau kemampuan untuk ditingkatkan di masa datang, juga menjadi pertimbangan penting. Dengan begitu, ketika ada kebutuhan baru, secara teknologis hal itu terdukung dengan baik. Lebih jauh, jika perkembangan itu harus didukung oleh teknologi yang lebih baru dan maju, memperbaruinya juga dimungkinkan.

Namun, satu hal yang sangat penting adalah, sebagaimana disadari baik oleh Kiko maupun Adi, bahwa kemajuan TI sangatlah pesat, karenanya perlu lebih selektif dalam memilih dan menerapkannya. Sebaliknya, mereka sendiri, sebagai seorang manajer TI, harus benar-benar menyadari bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang mereka miliki saat ini harus terus ditingkatkan. Bukan saja karena semakin tingginya persaingan dalam bidang kerja yang mereka geluti, melainkan juga tuntutan pekerjaan mereka sejalan dengan kemajuan TI yang sangat pesat, baik dalam aspek peranti lunak maupun perangkat keras dan solusi integrasi serta kolaborasi.

Berikut ini ada beberapa pertimbangan yang layak menjadi perhatian kalangan manajer TI dalam melihat tantangan profesi mereka di masa datang. Boleh jadi hal ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi pandangan ini setidaknya semakin mendorong Anda untuk melakukan introspeksi untuk kemudian melangkah ke tahun-tahun mendatang dengan visi yang lebih baik.

Bagaimana pun, Anda pasti setuju bahwa meningkatkan kemampuan dan ketrampilan di profesi Anda sebagai seorang manajer TI, bukan saja sangat penting melainkan strategis bagi mempertahankan posisi Anda sekarang ini dan sekaligus membuat Anda menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Memang tak ada yang tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di lingkungan Anda atau dengan Anda sendiri. Namun, kalau Anda menoleh kembali ke 3 atau 5 tahun yang lalu, apa yang sebenarnya telah Anda lakukan, bagaimana Anda melakukannya, bagaimana dan di mana posisi Anda sekarang, mungkin hal-hal berikut ini akan memberi Anda gambaran optimisme dan ke mana arah yang akan Anda tuju. Berikut ini beberapa ketrampilan yang diperkirakan akan menjadi perhatian banyak kalangan manajer TI dan selayaknya Anda kuasai dengan baik.

Terlibat dengan lebih banyak kontraktor dan aplikasi alihdaya (outsource)

Dewasa ini, banyak kalangan manajer TI yang telah bekerjasama dengan berbagai kontraktor TI dan mengalihdayakan berbagai aplikasi serta fungsi-fungsi TI-nya. Di masa datang, semua manajer TI akan melakukan hal yang sama. Kalau sekarang ini ada kecenderungan perusahaan-perusahaan untuk melakukan alihdaya fungsi TI, maka 5 atau 10 tahun ke depan hal itu diperkirakan akan semakin meningkat. Jika hal itu tak dapat dilakukan di dalam negeri, maka alihdaya akan lebih banyak dilakukan di luar negeri. Pertimbangannya lebih pada profesionalisme pelayanan dan biaya yang sangat kompetitif. Ini berarti, di masa datang perusahaan-perusahaan akan semakin realistis dalam menangani masalah TI mereka.

Selain melakukan alihdaya sejumlah fungsi TI, maka mereka diperkirakan tidak akan menambah jumlah pekerja TI yang bersifat tetap. Mereka lebih memilih mempekerjakan pekerja TI paruh-waktu atau temporer. Karenanya, kalangan manajer TI masa datang akan terkait dengan berbagai hal, antara lain menangani pekerja TI tetap dan temporer, kerjasama alihdaya, baik di dalam maupun di luar negeri, meningkatkan ketrampilan pekerja TI yang ada, yang semua itu akan membutuhkan kemampuan pengelolaan yang lebih baik.

Karenanya kalangan manajer TI semakin dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam penanganan proyek TI, yang mungkin selama ini masih dianggap hal yang sulit dilakukan. Atau merasa bahwa kemampuan mengelola, bukan bidang pekerjaan utama. Padahal, tantangan ke depan tak bisa tidak akan terkait dengan pengelolaan berbagai aspek tersebut di atas. Bisa jadi malah lebih banyak hal yang harus dikelola, yang terkait dengan tanggungjawab mereka sebagai manajer TI.

Optimalisasi waktu pengerjaan proyek

Kalau selama ini Anda telah berhasil menangani proyek penerapan ERP (Enterprise Resource Planning) misalnya, itu bagus. Pengalaman Anda semakin bertambah. Tetapi, jangan bangga dulu. Nantinya, perusahaan-perusahaan tak lagi bisa mentoleransi penerapan suatu aplikasi yang memakan waktu lebih lama atau bahkan yang tak selesai-selesai. Kalaupun selesai, waktu yang dibutuhkan sangat lama, sehingga tidak lagi efisien dan konpetitif dalam peningkatan daya saingnya.

Ke depan, diperkirakan penerapan aplikasi akan lebih bersifat kompartemen atau bahkan berupa modul-modul, sehingga dapat diterapkan secara lebih cepat. Bisa jadi, perusahaan tak akan banyak melakukan kustomisasi, meski konsekuensinya mengurangi fleksibilitasnya. Namun, tantangannya menjadi lebih berat, karena aplikasi apapun yang Anda terapkan tuntutan utamanya adalah apakah hal itu akan meningkatkan nilai tambah atau keuntungan kompetitif perusahaan Anda.

Karenanya, kalangan manajer TI semakin dituntut untuk menerapakan suatu aplikasi yang tepat, dapat dilakukan secara cepat, dan berdampak pada peningkatan daya saing perusahaan. Pengelolaan waktu yang baik akan membuat Anda semakin mampu menangani proyek implementasi TI Anda secara baik, cepat dan berdampak positif bagi perusahaan. Lebih dari itu, manajemen perusahaan tidak akan lebih sabar menunggu implementasi yang Anda lakukan cepat selesai dan segera memberi manfaat bagi kemajuan perusahaan.

Mengelola suatu tim kecil yang supergeneralis

Dengan semakin banyaknya pekerjaan yang ditangani, baik oleh kalangan kontraktor maupun perusahaan pengalihdaya, maka di masa datang Anda akan memiliki lebih banyak karyawan regular. Lebih jauh jauh lagi, staf Anda adalah mereka-mereka yang sangat terlatih dan berketrampilan tinggi dan mereka-mereka yang generalis (flexible generalists).

Karenanya, jika perusahaan Anda membutuhkan staf baru, maka tantangan Anda adalah bagaimana mendapatkan orang-orang yang memiliki banyak pengalaman dalam banyak aspek, yang terkait dengan berbagai platforms dan aplikasi. Dengan pengalaman semacam itu mereka akan lebih leluasa berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain, dari satu proyek ke proyek lain secara cepat. Juga, dapat dengan mudah memilih teknologi yang dibutuhkan secara lebih baik.

Dan yang lebih menarik, mereka-mereka yang terbaik dalam tim Anda akan berkesempatan membantu Anda dalam melakukan pekerjaan yang berat. Yakni mengelola berbagai macam proyek dengan platform dan aplikasi yang berbeda, tingkat keahlian orang-orang yang sangat variatif, serta sumber-sumber luar yang juga berbeda, serta tantangan menyelaraskan antara sumber di dalam dan yang dari luar perusahaan. Karenanya, meski Anda memiliki tim yang kecil, maka itu harus terdiri dari orang-orang yang benar-benar memiliki kompetensi tinggi – supergeneralis.

Terus-menerus Melakukan Peningkatan Paradigma (paradigm shifts)

Kalau sekarang ini ada kecenderungan bahwa kombinasi antara aplikasi open source dan semakin murahnya harga perangkat keras membuat perusahaan-perusahaan TI mengubah pandangan mereka mengenai pengembangan aplikasi dan perawatan (maintenance), tetapi tak berapa lama lagi hal itu akan segera berubah. Karena, pengembangan peranti lunak maupun peranti keras kini semakin dimungkinkan dilakukan oleh banyak perusahaan. Artinya, ke depan akan semakin mungkin terjadinya perubahan-perubahan yang bahkan drastis dalam melihat dan menangani TI. Untuk itu, tantangan Anda sebagai manajer TI adalah bagaimana Anda dapat mengenal dengan baik apa yang sesungguhnya menjadi tren dan apa yang hanya sekedar hype. Karena hal itu yang akan mendukung keberhasilan Anda.

Masa Depan Mulai Dari Sekarang

Kalau Anda pikir bahwa apa yang dikemukakan ini cukup mewakili tren yang ada sekarang ini ke depan, maka sebaiknya sekaranglah saatnya Anda menyiapkan diri ke arah itu. Tapi, hal itu tidak menutup pandangan Anda sendiri sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah Anda miliki. Apapun perkembangannya, ke depan perubahan-perubahan yang bahkan drastis sekalipun mungkin terjadi, khususnya yang terkait dengan bidang dan tanggungjawab Anda sebagai manajer TI. Untuk itu, semakin cepat Anda menyadari perubahan dan tren yang berkembang dan semakin cepat pula Anda menyiapkan diri untuk itu, maka akan semakin siaplah Anda menghadapi tantangan masa depan dalam profesi Anda. [insa]


Read more...
0

Belajar Dari Pengalaman Itu Penting

Jack Stack, President dan CEO SRC Holdings Corp., Springfield, AS, pernah mengungkapkan, “Jangan sekali-kali mengubah rencana tahunan Anda di tengah jalan, tak peduli seberapa jauh hal itu menyimpang dari rencana semula yang telah Anda tetapkan”.

Bertahan dengan rencana tahunan (annual plan), dewasa ini, memang tidaklah mudah. Perubahan-perubahan, baik dalam skala besar maupun kecil, langsung maupun tidak langsung, berlangsung sedemikian cepat, sehingga seringkali menuntut para manajer untuk tetap tanggap atas berbagai perubahan itu. Karena, sangat boleh jadi, kegiatan usaha yang dijalani akan sangat terkait dengan berbagai perubahan tersebut. Tetapi, apakah karena alasan itu kita harus mengubah rencana tahunan di tengah jalan?

Mengapa hal itu sangat penting diperhatikan? Tak lain, karena rencana tahunan dibuat, tentunya dengan belajar dari capaian yang di raih pada tahun-tahun sebelumnya dengan memperhatikan berbagai aspek perubahan maupun capaian yang ingin diraih pada tahun berikutnya. Perubahan-perubahan mungkin saja terjadi di tengah jalan, yang dapat mempengaruhi capaian yang diharapkan berdasarkan rencana tahunan itu.

Apa yang bisa dipelajari dari isu ini? Pertama, tetap bertahan dengan rencana tahunan berarti memberi kesempatan untuk benar-benar menerapkan secara utuh rencana yang telah disiapkan pada tahun sebelumnya. Kedua, karena diterapkan secara utuh dan mengikuti rencana tahunan tersebut, ada peluang untuk mengukur kinerja pencapaian yang sesuai dengan apa yang dijalani. Ketiga, tetap bertahan dengan rencana tahunan tersebut berarti memberi peluang bagi setiap orang di dalam perusahaan untuk fokus pada tujuan dan sekaligus memahami dan menyadari deviasi atau penyimpangan yang terjadi, walaupun mungkin menyakitkan.

Bertahan dengan rencana tahunan, tidak berarti membuat para manajer tidak lagi fleksibel menghadapi situasi dan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebaliknya, para manajer harus tetap dekat dengan pasar dan secara terus-menerus melakukan revisi terhadap prediksinya (forecast) sehingga lebih mendekati kenyataan yang ada.

Perbaikan dan peningkatan, baik secara kualititif maupun kuantitatif hampir tak dapat dilakukan dengan baik, terutama ketika rencana tahunan yang semula diterapkan tiba-tiba ditubah dan diganti dengan rencana yang baru. Mengubah rencana, sama aja dengan menghilangkan “jejak” yang telah dilakukan dan memulai sesuatunya dari awal lagi yang sesuai dengan rencana yang baru. Sehingga, penyimpangan yang terjadi, tak lagi dapat dievaluasi kinerjanya, karena belum sempat diterapkan secara utuh.

Mengubah rencana di tengah jalan, membuat kesalahan-kesalahan yang terjadi lenyap dan para manajer tak dapat belajar dari kesalahan atau kesilapan yang terjadi tidak lagi dapat dijadikan “pelajaran” agar tidak terulang lagi di tahun-tahun mendatang. Menurut Jack Stack, “Para manajer merasa mengetahui apa yang menjadi sebab terjadinya penyimpangan, tetapi sebenarnya mereka tidak menganalisanya. Mereka tidak fokus pada hal itu dan, karenanya, mereka tidak memperbaikinya”.

Dari pelajaran kecil di lingkungan perusahaan dengan sekian puluh atau ratus karyawan ini, peningkatan (improvement) yang dilakukan secara terus-menerus; melihat ke belakang terhadap apa yang telah dilakukan, penyimpangan apa yang telah terjadi, pelajaran apa yang dapat diambil, sebenarnya bisa ditarik secara luas menjadi masalah yang tengah kita hadapi sekarang ini dengan Indonesia.

Boleh dibilang, kita sangat sulit memahami “kemauan belajar dari masa lalu atau kesalahan yang dilakukan” dari warga negeri ini. Kita seolah sangat cepat melupakan kesalahan atau penyimpangan yang terjadi. Dan, pada saat yang sama, kita terburu-buru untuk melihat sesuatu yang jauh di depan, tanpa lagi peduli apa yang telah kita capai, apa yang telah kita siapkan untuk itu, apakah yang kita lakukan sudah benar atau tepat, atau justru melahirkan “set-back”. Itu hampir tak lagi kita pertanyakan.

Belajar runtut dari pengalaman yang lalu, mau mengakui kesalahan untuk kemudian tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari, menyiapkan langkah-langkah yang semakin hari semakin meningkat, seringkali luput dari pikiran kita, karena kita semakin sibuk dengan segala “yang instan”. Termasuk mengubah rencana “di tengah jalan” itu. Mau belajar dari kesalahan, memang butuh waktu untuk kita sadari sepenuhnya! [insa]


Read more...