0

Membangun Sinergi Positif Antara TI dan Unit Bisnis

Departemen Teknologi Informasi (TI) seringkali mendapat keluhan yang cukup keras dari unit bisnis berkaitan dengan kinerja layanan yang diberikan oleh departemen TI. Keluhan-keluhan unit bisnis, seperti kinerja sistem yang buruk, respon aplikasi yang lambat, service yang seringkali tidak tersedia saat dibutuhkan, dan lain sebagainya muncul begitu saja. Anda pasti berpikir, apa yang salah? Network sudah menunjukkan kinerja yang baik, tetapi kenapa keluhan keras tetap saja muncul. Masalah seperti itu selalu muncul dalam dinamika hubungan organisasi TI dan unit bisnis di manapun. Penyebabnya adalah, adanya kesenjangan dan perbedaan sudut pandang antara departemen TI dan unit bisnis dalam memandang suatu layanan TI.

Bagaimana membangun sinergi antara keduanya?

Pada suatu acara rapat, seorang network manager bank yang cukup besar sambil tertawa lebar mengatakan bahwa kinerja jaringannya terus menunjukkan peningkatan. Target availability jaringannya pada bulan berjalan sebesar 99,5 % berhasil terlampaui. Bagi sang network manager, kinerja seperti itu menjadi salah satu prestasi besarnya, mengingat upaya yang dilakukannya selama ini untuk mencapai target availability sebesar itu.

Tetapi, senyum yang semula lebar tiba-tiba berubah menjadi senyum kecut, ketika dalam rapat koordinasi dengan CIO (chief information officer) prestasi sebaik itu menjadi tak berarti dan justru peserta rapat menjadi sasaran kemarahan CIO. Penyebab kemarahannya adalah karena departemen TI mendapat keluhan yang cukup keras dari unit bisnis berkaitan dengan kinerja layanan yang diberikan oleh departemen TI. Keluhan-keluhan unit bisnis, seperti kinerja sistem yang buruk, respon aplikasi yang lambat, service yang seringkali tidak tersedia saat dibutuhkan, dan lain sebagainya muncul begitu saja. Anda pasti berpikir, apa yang salah? Network sudah menunjukkan kinerja yang baik, tetapi kenapa keluhan keras tetap saja muncul.

Masalah seperti itu selalu muncul dalam dinamika hubungan organisasi TI dan unit bisnis di manapun. Penyebabnya adalah, adanya kesenjangan dan perbedaan sudut pandang antara departemen TI dan unit bisnis dalam memandang suatu layanan TI. Departemen TI cenderung berpikir melalui pendekatan bottom-up.

Mereka akan melihat persoalan TI pada tingkat yang sangat detil. Persoalan TI adalah persoalan database, network, job schedules, dan lain sebagainya. Hal itu ternyata sangat berpengaruh terhadap pola hubungan TI – unit bisnis. Pada kondisi semacam itu, departemen TI terjebak pada situasi seolah-olah perangkat TI bekerja hanya untuk melayani orang-orang TI dan kepuasan departemen TI sendiri. Mereka lupa pada fungsi utamanya sebagai kontributor terhadap kesuksesan bisnis secara keseluruhan.

Sebagai ilustrasi, contoh berikut dapat memberikan gambaran yang cukup jelas. Ketika kualitas layanan menjadi tema sentral banyak perusahaan, pola hubungan antar departemen diterjemahkan dalam perjanjian service level, semacam kontrak internal bagaimana satu departemen melayani departemen lainnya sebagai internal customer.

Saat perjanjian itu menyentuh departemen TI, kesenjangan mulai muncul. Karena perbedaan bahasa dan protokol yang digunakan, maka departemen TI akan mendominasi penyusunan perjanjian service level tersebut, sehingga yang muncul adalah terminologi-terminologi teknis yang tidak dimengerti atau bahkan tidak menjadi perhatian unit bisnis. Misalnya, tingkat ketersediaan jaringan, response time jaringan, kecepatan proses batch, dan lain sebagainya.

Bahkan, yang lebih parah, service level yang diberikan akan mengacu pada pendekatan fraksional seperti perjanjian kinerja jaringan, perjanjian kinerja server, perjanjian kinerja database, dll dan bukan pada pendekatan integral yang dibutuhkan bisnis, yaitu kualitas delivery sistem secara end to end.

Di sisi lain, manajer bisnis selalu melihat apakah operasi back office berjalan lancar, atau apakah customer terlayani dengan baik, dan apakah bisnis dapat dijalankan dengan biaya yang rendah. Suatu layanan bisnis tergantung pada serangkaian proses yang menjamin semuanya tereksekusi dan memiliki kinerja seperti yang diharapkan. Karenanya, pendekatan service level yang bersifat fraksional tidak akan mampu menyatu dalam sudut pandang seperti itu.

Lalu, langkah apa yang perlu ditempuh untuk mengatasi kesenjangan tersebut? Manajer TI dan bisnis harus mulai berkolaborasi untuk mentranslasikan dan memetakan sasaran bisnis kepada prioritas TI. Tujuannya adalah membangun pola layanan yang menghubungkan elemen-elemen teknologi kepada sasaran bisnis dan menambahkan konteks bisnis dalam setiap pengambilan keputusan TI. Output dari proses itu adalah tercapainya Service Level Agreement (SLA) antara Departemen TI dan Unit Bisnis dengan menggunakan skala-skala bisnis sebagai parameternya.

Untuk dapat membuat perjanjian service level yang lebih mampu menjembatani kepentingan bisnis, beberapa langkah berikut perlu dijalankan :

1. Kategorisasi kritikalitas layanan bisnis.

Unit bisnis harus secara jelas mampu memetakan kritikalitas dari beragam produk dan layanannya, paling tidak menjadi 3 kategori penting: critical, medium dan low priority. Dari sudut pandang TI, informasi ini sangat penting untuk beberapa alasan :

  • Alokasi dan prioritisasi resource di lingkungan TI. Departemen TI selalu bekerja dengan beragam keterbatasan, baik sumber daya manusia maupun kapasitas sistem. Dengan kategorisasi yang jelas, maka resources TI dapat dialokasi dan diprioritisasi atas dasar kebutuhan paling kritis unit bisnis.
  • Implementasi Quality of Services (QoS). Secara sistem, TI akan mampu men set-up perangkat atas dasar tingkatan quality of service masing-masing produk/layanan. Service yang memiliki kritikalitas lebih tinggi akan mendapatkan kapasitas resource dan prioritas yang lebih besar, dibanding service dengan kritikalitas yang lebih rendah.
  • Alokasi anggaran yang lebih rasional.


2. Tentukan kebutuhan kinerja masing-masing layanan (availability dan performance).

Setelah kategorisasi dilakukan, pekerjaan berikutnya adalah bahwa departemen TI dan unit bisnis harus menyepakati kinerja layanan, yaitu menyangkut availability dan performance untuk masing-masing kategori. Beberapa contoh parameter yang harus disepakati antara lain:

  • Berapa lama layanan boleh terhenti dalam satu jangka waktu tertentu, baik karena alasan yang direncanakan maupun karena kerusakan sistem?
  • Berapa lama waktu yang dibutuhkan oleh sistem untuk menyelesaikan satu kali transaksi?
  • Berapa lama waktu yang ditoleransi untuk memulihkan sistem jika terjadi kerusakan?

Hal ini sangat penting untuk menjadi pengetahuan bersama, karena ada korelasi yang sangat tinggi antara availability dan performance yang dituntut dengan alokasi anggaran yang harus disediakan untuk memenuhi tuntutan tersebut.

Sebagai contoh, untuk menaikkan availability jaringan dari 99,0 % menjadi 99,9 %, biaya yang harus dikeluarkan bisa mencapai 3-4 kalinya, dan kebutuhan ini meningkat terus secara eksponensial jika availability–nya ingin ditingkatkan lagi menjadi 99,99%.

Dengan kesadaran ini, maka tuntutan unit bisnis terhadap kinerja layanan menjadi jauh lebih realistis, karena unit bisnis secara sadar mengetahui berapa biaya/ongkos produksi untuk setiap produk/layanan yang dikelolanya.

3. Bangun Service Level Agreement atas dasar prioritas bisnis.

Setelah kedua belah fihak mengetahui parameter-parameter kinerja yang akan dicapai, maka parameter tersebut harus dituangkan dalam kontrak perjanjian service level. SLA yang ditelurkan dari metode ini akan secara langsung menyentuh kepentingan dan prioritas bisnis.

4. Gunakan SLA yang disepakati untuk membangun sebuah service model.

Tujuan dari pembuatan service model ini adalah untuk memberikan gambaran yang lengkap tentang interkorelasi antara produk/layanan bisnis dengan infrastruktur/sistem TI yang melayaninya. Model ini mendefinisikan IT resources mana yang kritikal untuk menjamin kelangsungan operasi layanan bisnis.

Bagi departemen TI , ketersediaan model ini sangat penting untuk melakukan service impact analysis, yaitu analisis pengaruh kegagalan satu komponen terhadap keseluruhan layanan sistem. Dengan menghubungkan model tersebut ke dalam komponen – komponen TI dan menyimpannya dalam tools configuration management dan asset management yang terpusat, setiap perubahan dapat dijejaki dan dianalisis pengaruhnya terhadap keseluruhan sistem.

5. Lakukan pengukuran kinerja secara konsisten dan terus menerus.

Karena sasaran akhir dari layanan TI adalah kepuasan unit bisnis sebagai user, maka kontrol terhadap pencapaian kinerja sesuai service level yang disepakati menjadi penting. Di beberapa perusahaan, mekanisme kontrol ini dilakukan dengan membentuk quality committee, yang secara rutin mengadakan quality meeting untuk membahas pencapaian kinerja dan rencana perbaikan sistem. Quality committee ini harus dikendalikan oleh senior manajemen guna mendapatkan kekuatan komitmen dari seluruh pihak yang terlibat.

Dengan menerapkan prinsip-prinsip dan langkah-langkah tersebut di atas diharapkan bisa didapatkan suatu harmonisasi operasional departemen TI dan unit bisnis, dimana keduanya akan dapat berbicara dalam bahasa dan protokol yang sama. Begitu juga, ekspektasi bisnis dan TI akan dapat lebih terukur dan realistis, memiliki prioritas kerja yang seirama, karena sama-sama terikat dalam satu kontrak service level.

Di samping itu, organisasi TI akan memperlihatkan tingkat respons yang tinggi terhadap permasalahan operasi bisnis, karena kinerja keduanya diukur menggunakan parameter yang sama. [R. Gatot Prio Utomo - Praktisi dan Pengamat IT Management]


Read more...
0

Stay Hungry, Stay Foolish...

This is the text of the Commencement address by Steve Jobs, CEO of Apple Computer and of Pixar Animation Studios, delivered on June 12, 2005.

I am honored to be with you today at your commencement from one of the finest universities in the world. I never graduated from college. Truth be told, this is the closest I've ever gotten to a college graduation. Today I want to tell you three stories from my life. That's it. No big deal. Just three stories.

The first story is about connecting the dots.

I dropped out of Reed College after the first 6 months, but then stayed around as a drop-in for another 18 months or so before I really quit. So why did I drop out?

It started before I was born. My biological mother was a young, unwed college graduate student, and she decided to put me up for adoption. She felt very strongly that I should be adopted by college graduates, so everything was all set for me to be adopted at birth by a lawyer and his wife. Except that when I popped out they decided at the last minute that they really wanted a girl. So my parents, who were on a waiting list, got a call in the middle of the night asking: "We have an unexpected baby boy; do you want him?" They said: "Of course." My biological mother later found out that my mother had never graduated from college and that my father had never graduated from high school. She refused to sign the final adoption papers. She only relented a few months later when my parents promised that I would someday go to college.

And 17 years later I did go to college. But I naively chose a college that was almost as expensive as Stanford, and all of my working-class parents' savings were being spent on my college tuition. After six months, I couldn't see the value in it. I had no idea what I wanted to do with my life and no idea how college was going to help me figure it out. And here I was spending all of the money my parents had saved their entire life. So I decided to drop out and trust that it would all work out OK. It was pretty scary at the time, but looking back it was one of the best decisions I ever made. The minute I dropped out I could stop taking the required classes that didn't interest me, and begin dropping in on the ones that looked interesting.

It wasn't all romantic. I didn't have a dorm room, so I slept on the floor in friends' rooms, I returned coke bottles for the 5¢ deposits to buy food with, and I would walk the 7 miles across town every Sunday night to get one good meal a week at the Hare Krishna temple. I loved it. And much of what I stumbled into by following my curiosity and intuition turned out to be priceless later on. Let me give you one example:

Reed College at that time offered perhaps the best calligraphy instruction in the country. Throughout the campus every poster, every label on every drawer, was beautifully hand calligraphed. Because I had dropped out and didn't have to take the normal classes, I decided to take a calligraphy class to learn how to do this. I learned about serif and san serif typefaces, about varying the amount of space between different letter combinations, about what makes great typography great. It was beautiful, historical, artistically subtle in a way that science can't capture, and I found it fascinating.

None of this had even a hope of any practical application in my life. But ten years later, when we were designing the first Macintosh computer, it all came back to me. And we designed it all into the Mac. It was the first computer with beautiful typography. If I had never dropped in on that single course in college, the Mac would have never had multiple typefaces or proportionally spaced fonts. And since Windows just copied the Mac, its likely that no personal computer would have them. If I had never dropped out, I would have never dropped in on this calligraphy class, and personal computers might not have the wonderful typography that they do. Of course it was impossible to connect the dots looking forward when I was in college. But it was very, very clear looking backwards ten years later.

Again, you can't connect the dots looking forward; you can only connect them looking backwards. So you have to trust that the dots will somehow connect in your future. You have to trust in something — your gut, destiny, life, karma, whatever. This approach has never let me down, and it has made all the difference in my life.

My second story is about love and loss.

I was lucky — I found what I loved to do early in life. Woz and I started Apple in my parents garage when I was 20. We worked hard, and in 10 years Apple had grown from just the two of us in a garage into a $2 billion company with over 4000 employees. We had just released our finest creation — the Macintosh — a year earlier, and I had just turned 30. And then I got fired. How can you get fired from a company you started? Well, as Apple grew we hired someone who I thought was very talented to run the company with me, and for the first year or so things went well. But then our visions of the future began to diverge and eventually we had a falling out. When we did, our Board of Directors sided with him. So at 30 I was out. And very publicly out. What had been the focus of my entire adult life was gone, and it was devastating.

I really didn't know what to do for a few months. I felt that I had let the previous generation of entrepreneurs down - that I had dropped the baton as it was being passed to me. I met with David Packard and Bob Noyce and tried to apologize for screwing up so badly. I was a very public failure, and I even thought about running away from the valley. But something slowly began to dawn on me — I still loved what I did. The turn of events at Apple had not changed that one bit. I had been rejected, but I was still in love. And so I decided to start over.

I didn't see it then, but it turned out that getting fired from Apple was the best thing that could have ever happened to me. The heaviness of being successful was replaced by the lightness of being a beginner again, less sure about everything. It freed me to enter one of the most creative periods of my life.

During the next five years, I started a company named NeXT, another company named Pixar, and fell in love with an amazing woman who would become my wife. Pixar went on to create the worlds first computer animated feature film, Toy Story, and is now the most successful animation studio in the world. In a remarkable turn of events, Apple bought NeXT, I returned to Apple, and the technology we developed at NeXT is at the heart of Apple's current renaissance. And Laurene and I have a wonderful family together.

I'm pretty sure none of this would have happened if I hadn't been fired from Apple. It was awful tasting medicine, but I guess the patient needed it. Sometimes life hits you in the head with a brick. Don't lose faith. I'm convinced that the only thing that kept me going was that I loved what I did. You've got to find what you love. And that is as true for your work as it is for your lovers. Your work is going to fill a large part of your life, and the only way to be truly satisfied is to do what you believe is great work. And the only way to do great work is to love what you do. If you haven't found it yet, keep looking. Don't settle. As with all matters of the heart, you'll know when you find it. And, like any great relationship, it just gets better and better as the years roll on. So keep looking until you find it. Don't settle.

My third story is about death.

When I was 17, I read a quote that went something like: "If you live each day as if it was your last, someday you'll most certainly be right." It made an impression on me, and since then, for the past 33 years, I have looked in the mirror every morning and asked myself: "If today were the last day of my life, would I want to do what I am about to do today?" And whenever the answer has been "No" for too many days in a row, I know I need to change something.

Remembering that I'll be dead soon is the most important tool I've ever encountered to help me make the big choices in life. Because almost everything — all external expectations, all pride, all fear of embarrassment or failure - these things just fall away in the face of death, leaving only what is truly important. Remembering that you are going to die is the best way I know to avoid the trap of thinking you have something to lose. You are already naked. There is no reason not to follow your heart.

About a year ago I was diagnosed with cancer. I had a scan at 7:30 in the morning, and it clearly showed a tumor on my pancreas. I didn't even know what a pancreas was. The doctors told me this was almost certainly a type of cancer that is incurable, and that I should expect to live no longer than three to six months. My doctor advised me to go home and get my affairs in order, which is doctor's code for prepare to die. It means to try to tell your kids everything you thought you'd have the next 10 years to tell them in just a few months. It means to make sure everything is buttoned up so that it will be as easy as possible for your family. It means to say your goodbyes.

I lived with that diagnosis all day. Later that evening I had a biopsy, where they stuck an endoscope down my throat, through my stomach and into my intestines, put a needle into my pancreas and got a few cells from the tumor. I was sedated, but my wife, who was there, told me that when they viewed the cells under a microscope the doctors started crying because it turned out to be a very rare form of pancreatic cancer that is curable with surgery. I had the surgery and I'm fine now.

This was the closest I've been to facing death, and I hope its the closest I get for a few more decades. Having lived through it, I can now say this to you with a bit more certainty than when death was a useful but purely intellectual concept:

No one wants to die. Even people who want to go to heaven don't want to die to get there. And yet death is the destination we all share. No one has ever escaped it. And that is as it should be, because Death is very likely the single best invention of Life. It is Life's change agent. It clears out the old to make way for the new. Right now the new is you, but someday not too long from now, you will gradually become the old and be cleared away. Sorry to be so dramatic, but it is quite true.

Your time is limited, so don't waste it living someone else's life. Don't be trapped by dogma — which is living with the results of other people's thinking. Don't let the noise of others' opinions drown out your own inner voice. And most important, have the courage to follow your heart and intuition. They somehow already know what you truly want to become. Everything else is secondary.

When I was young, there was an amazing publication called The Whole Earth Catalog, which was one of the bibles of my generation. It was created by a fellow named Stewart Brand not far from here in Menlo Park, and he brought it to life with his poetic touch. This was in the late 1960's, before personal computers and desktop publishing, so it was all made with typewriters, scissors, and polaroid cameras. It was sort of like Google in paperback form, 35 years before Google came along: it was idealistic, and overflowing with neat tools and great notions.

Stewart and his team put out several issues of The Whole Earth Catalog, and then when it had run its course, they put out a final issue. It was the mid-1970s, and I was your age. On the back cover of their final issue was a photograph of an early morning country road, the kind you might find yourself hitchhiking on if you were so adventurous. Beneath it were the words: "Stay Hungry. Stay Foolish." It was their farewell message as they signed off. Stay Hungry. Stay Foolish. And I have always wished that for myself. And now, as you graduate to begin anew, I wish that for you.

Stay Hungry. Stay Foolish.

Thank you all very much.


Read more...
0

Keberanian “Bill Maguire” Mengambil Risiko

Sejumlah langkah yang diambil Bill Maguire ketika membangun sistem TI Virgin America, meski dipandang sebagai terobosan, tetapi juga dianggap mengundang risiko. Salah satunya adalah keberanian menggunakan peranti open-source, suatu hal yang jarang dilakukan maskapai-maskapai penerbangan di sana. Salah satu kekhawatirannya adalah masalah support ketika terjadi permasalahan dengan peranti lunaknya. Tapi, Maguire menepis kekhawatiran itu karena saat ini dukungan dari komunitas open source menurutnya sudah cukup memadai bahkan terbilang luar biasa. “Kami mendapatkan update setiap malam dari komunitas ini untuk spam filter yang kami gunakan,” klaimnya.

Selain itu, keputusan Virgin untuk menggunakan sistem reservasi aiRES yang belum teruji juga dipandang bakal menimbulkan permasalahan. Maguire sudah menyadari hal ini jauh sebelumnya. Bahkan ia tak menampik kemungkinan kalau implementasi aiRES ini bisa berjalan kurang mulus. ”Sistem reservasi memang memberikan risiko paling tinggi bagi bisnis ini,” aku Maguire.

Tapi, menurut Maguire, sistem infrastruktur aiRES memiliki tingkat redundancy untuk meminimalkan dampak ketika secara tak terduga mengalami down. Untuk meminimalkan risiko secara keseluruhan, Maguire dan timnya menjalin kerjasama erat dengan Cendant untuk memastikan kinerja, stabilitas dan skalabilitas sistem ini sanggup memenuhi kebutuhan beban kerja Virgin America.

Selain itu, ketika pembangunan sistem ini masih berjalan, Maguire melakukan perjalanan rutin ke markas IBS di Delhi, India untuk memeriksa kesiapan aiRES. Ia pun membangun relasi erat dengan para software developer agar mereka mengetahui jalan pikiran dan ekspektasi Virgin America. Kesiapan dukungan 24/7 pun ketika sistem mulai berproduksi pun tak luput dari perhatian Maguire.

”Intinya kami langsung bertatap muka dengan mereka untuk menegaskan betapa pentingnya sistem ini bagi kami,” ujar Maguire.

Di Balik Sistem TI Virgin America
Teknologi apa saja yang ada di balik infrastruktur TI yang dibangun Virgin America? Anda bakal menjumpai sistem gado-gado yang mengombinasikan teknologi proprietary dengan open-source.

Untuk teknologi database-nya, Virgin menggunakan MySQL dan Oracle. Sementara untuk development tools, perusahaan ini bertumpu pada Apache Struts, J2EE, Perl, Self Scripts dan SQL Development.

Sebagai teknologi deployment, Apache digunakan untuk web servernya, sementara server aplikasi menggunakan teknologi Jboss dan Tomcat. Untuk sistem operasi, selain Linux, Virgin juga mengandalkan MS Server 2005.

Dari sisi perangkat keras, Virgin mempercayakan server-servernya pada Hewlett-Packard, sementara infrastruktur jaringannya berintikan solusi-solusi buatan Cisco, dan firewall-nya kepada Sonic./aa


Read more...
0

Terobosan Berani Berorientasi Biaya

Gaya Maguire yang cost-oriented sangat kentara ketika ia menentukan peranti-peranti lunak yang akan digelar Virgin America. Ia pun memanfaatkan berbagai jurus untuk memangkas biaya peranti lunak, mulai dari negosiasi licensing secara kreatif sampai memanfaatkan peranti-peranti open source secara maksimal. Ia pun berupaya menerapkan pola lisensi yang menggunakan concurrent user ketimbang named user, sebuah pola yang lebih disukai kebanyakan vendor peranti lunak. Dalam hal server, ia pun lebih menyukai lisensi sesuai ukuran atau CPU power-nya.

”Saya memahami bagaimana menentukan ukuran sebuah sistem TI dan mengonfigurasi utilisasinya sehingga kami tidak usah membayar lebih dari yang kami perlukan,” ujarnya.

Selain itu, Maguire pun lebih banyak mengeksplorasi teknologi-teknologi berbiaya rendah dan seberapa banyak fitur-fitur yang ditawarkan sebuah peranti lunak bisa bermanfaat bagi perusahaan, dan bagaimana sebuah aplikasi dimanfaatkan semaksimal mungkin.

Ia memberikan contoh solusi-solusi buatan vendor peranti lunak besar seperti Microsoft atau Oracle. Menurut dia, vendor-vendor itu menghabiskan jutaan dolar untuk mengembangkan peranti lunak sementara hanya 10 persen dari fitur-fitur yang ditawarkan peranti lunak benar-benar digunakan pengguna.

”Contohnya (Microsoft) Word. Saya hanya menggunakan beberapa fitur saja. Bagi saya, terpenting adalah bagaimana membuat sebuah server maupun aplikasi melakukan kerja lebih banyak,” ujarnya.

Saat ini, sebagian aplikasi TI dibuat sendiri oleh Virgin America, antara lain spam filter, load-balancing serta change management. Semuanya berbasis kode open-source.

Penggunaan open source ini memberikan penghematan cukup signifikan bagi Virgin America. Maguire mengestimasi jika menggunakan peranti lunak load-balancing versi tradisional pihaknya harus mengeluarkan sekurangnya 80.000 dolar AS, sementara dengan menggunakan peranti lunak open source praktis pihaknya tidak mengeluarkan biaya apa-apa.

Untuk aplikasi keuangan, Maguire pun memilih aplikasi yang lebih ekonomis, yakni Microsoft Dynamic GP (dulu bernama Great Plains). Biaya implementasinya sekitar 500.000 dolar AS. Sementara jika ia memilih Oracle, ia memperkirakan harus menyiapkan dana 2 sampai 3 juta dolar. Pemilihan ini tidak semata mempertimbangkan faktor biaya saja, tetapi juga timing dan kematangan peranti lunak itu sendiri.

”Beberapa tahun lalu, Great Plains belum cukup handal untuk bisa mendukung operasi seperti perusahaan kami. Namun sekarang sudah memadai,” kilah Maguire.

Virgin America pun membangun sendiri booking-engine berbasis Web. Maguire sendiri terjun langsung mengawasi pembuatan front end situs Web-nya yang eksekusinya diserahkan ke perusahaan desain Web Anomaly, sementara coding untuk back end-nya diserahkan ke perusahaan peranti lunak India, NIIT.

Hosted solution dan alihdaya
Sistem customer relationship management (CRM) pun tak luput dari perhatian Virgin America. Tidak seperti maskapai penerbangan lainnya, Virgin America memiliki keuntungan bisa membangun sebuah sistem dari nol, tidak terbebani masalah dengan integrasi data dan sebagainya.

Uniknya, sistem CRM yang dibangun merupakan paduan antara hosted solution dengan sistem yang dibangun sendiri. Sistem customer feedback-nya menggunakan solusi hosted dari RightNow. Sementara data yang diperoleh akan diproses oleh sebuah sistem yang dibangun Virgin America sendiri.

Perusahaan ini memiliki sasaran cukup ambisius dari sistem CRM yang dibangunnya. Seperti dipaparkan Pawlowski, sistem ini bukan untuk mencatat preferensi serta buying habit kastamer seperti minuman apa yang dipesannya pada penerbangan terakhir, tetapi lebih kepada insiden-insiden yang memiliki dampak besar. Contohnya kejadian-kejadian yang membuat kecewa kastamer, misalnya kehilangan bagasi.

”Nantinya flight attendant kami akan mengetahui informasi ini, dan memberi pesan kepada kastamer bahwa kami memperhatikan masalahnya dan berupaya melakukan sesuatu untuk meningkatkan layanan,” papar Pawlowski.

Masih dalam konteks pelayanan kastamer, Virgin America juga membangun call center. Alih-alih membangun sendiri fasilitas khusus call center, atau mengelola sendiri tim home-agent seperti yang dilakukan JetBlue, Virgin mengalihdayakan call centernya ke tangan WillowCSN, sebuah provider solusi call center virtual bagi perusahaan-perusahaan Fortune 500.

Para home-based CyberAgent CSR yang disediakan WillowCSN ini akan menangani seluruh pertanyaan mengenai reservasi dan informasi penerbangan yang masuk ke nomor toll-free customer service Virgin America.

Pada tahap awal, Virgin America akan mengambil 200 CyberAgent WillowCSN untuk dilatih mengenai sistem reservasi penerbangan dan budaya perusahaan.

Terobosan berani
Dari seluruh sistem TI yang dibangun Virgin dari nol, terobosan yang terbilang paling berani adalah sistem reservasinya. Sistem reservasi boleh dibilang menjadi inti dari sistem TI maskapai penerbangan manapun.

Apapun nama sistem itu, sistem reservasi tak cuma menangani reservasi saja, tetapi juga inventory control, tarif dan ticketing, jadwal, bagasi dan interface dengan fungsi-fungsi kendali departure. Selain itu, sistem ini juga terintegrasi dengan sistem-sistem lain yang dijalankan sebuah maskapai penerbangan, mulai dari sistem flight operations sampai sistem booking berbasis-Web.

Maskapai-maskapai penerbangan yang sudah mapan kebanyakan mengoperasikan sistem legacy yang sudah teruji, seperti Sabre atau Shares. Tapi, sayangnya, sistem-sistem yang kaya fitur seperti ini berjalan di atas mainframe, pemeliharaannya mahal dan sulit untuk di-customize.

Sementara itu, sejumlah low-cost airline seperti Airtran dan JetBlue memilih sistem Open Skies dari Navitaire yang lebih murah dan memiliki sistem reservasi berbasis Web yang lebih sederhana.

Meski beda kelas, kedua peranti lunak di atas sama-sama sudah cukup lama beredar. Perusahaan yang menerapkannya pun mulai menghadapi tantangan untuk meng-upgrade-nya, atau beralih ke sistem baru.

Di sisi lain, sistem reservasi baru yang lebih efisien namun powerful mulai berkembang. Nah, sebagai maskapai penerbangan baru yang memiliki kesempatan untuk membangun sistem TI-nya dari nol, Virgin memiliki kesempatan dan keleluasaan untuk memilih sistem reservasi yang lebih baru.

Pilihan pun jatuh kepada aiRES, sebuah sistem reservasi penerbangan gres yang dirilis pertama kali pada September 2005. Fleksibilitas dan desainnya yang customer-centric membuat Virgin memilih solusi yang pembangunannya didanai Cendant serta dikembangkan pengembang peranti lunak India, IBS.

Selain Virgin America, baru dua maskapai penerbangan yang telah meneken kontrak untuk menggunakan aiRES, yakni Virgin Blue dari Australia dan WestJet dari Kanada. Keduanya juga low cost airline. WestJet tercatat sebagai launch customer aiRES.

Sistem ini dibangun di atas standar open architecture dengan sebuah layer database, sebuah layer aplikasi dan sebuah layer Web services. Arsitektur yang bersifat open ini memungkinkan digelarnya sejumlah layanan-layanan yang memanjakan kastamer, misalnya proses booking tiga langkah, dan proses check-in tujuh detik di airport serta berbagai bentuk efisiensi lainnya yang bisa meningkatkan customer service.

“Solusi ini cepat, fleksibel dan sangat mudah pengonfigurasiannya,” puji Maguire. ”Kami bisa menjalankan bisnis sesuai keinginan kami, tidak perlu didikte seperti kalau menggunakan sistem Sabre atau Navitaire.”

Selain itu, aiRES juga memungkinkan sebuah maskapai penerbangan memperluas layanan kastamernya dengan mengintegrasikan distribution channel-nya dengan layanan travel lainnya.

Sebagai contoh, Virgin bisa mengintegrasikan layanannya dengan pengelola hotel atau rental mobil. Seorang pelanggan bisa melakukan check-in ketika check-out dari hotel, atau menerima boarding pass ketika mengembalikan mobil ke counter rental mobil di airport. Bahkan, notifikasi ke calon penumpang mengenai penundaan atau perubahan jadwal penerbangan kini bisa dilakukan langsung secara real time.

“Dari sudut pandang bisnis, sistem baru ini terbilang luar biasa karena memberikan fleksibilitas lebih tinggi ketimbang sistem generasi lama. Perusahaan kami bisa tumbuh tanpa ada batasan,” ujar Brian Clark, vice president planning and sales, Virgin America, eksekutif yang berperan besar dalam pemilihan aiRES.

Menunggu take off
Sejauh ini, hampir seluruh pembangunan infrastruktur TI di Virgin America telah rampung. Maguire dan timnya telah menjalankan sebagian besar jaringan, serta sudah mengoperasikan datacenter dan peranti monitoringnya. Aplikasi human resource, keuangan dan flight operations pun sudah berjalan.

“Yang tersisa adalah sistem reservasi dan production website-nya,” ujar Maguire, sambil menambahkan bahwa keduanya diharapkan sudah berjalan baik sejak awal tahun ini.

Tahun 2007 ini boleh dibilang merupakan tahun yang kritikal bagi Virgin. Penundaan operasi penerbangan bisa berujung lonceng kematian bagi maskapai penerbangan manapun.

Pasalnya, sampai saat ini Virgin masih menunggu persetujuan final dari DoT (Department of Transportation) AS. Upaya maskapai-maskapai penerbangan besar seperti Continental, Delta, United dan American yang mengajukan keberatan kepada DoT atas permohonan ijin operasi Virgin dengan alasan komposisi kepemilikan saham setidaknya juga menghambat langkah Virgin untuk bisa segera tinggal landas.

Seperti diketahui, regulasi setempat melarang investor asing memiliki lebih dari 50 persen saham kepemilikan atau lebih dari 25 persen suara di dalam sebuah maskapai penerbangan.

Belum lagi melihat antisipasi-antisipasi apa yang dilakukan low cost airlines lainnya. JetBlue, yang disebut-sebut bakal sebagai kompetitor utama Virgin America misalnya juga telah mengambil ancang-ancang untuk meningkatkan customer experience-nya. Belum lama ini, perusahaan itu memenangkan lelang dari Federal Communications Commission (FCC) satu kavling frekuensi gelombang radio untuk komunikasi dari udara ke darat. Jika mendapatkan persetujuan dari FAA, tentu membuka peluang besar bagi JetBlue untuk menyediakan layanan Wi-Fi in the sky.

Namun, meski setiap penundaan sama saja dengan hilangnya peluang mendapatkan uang, Virgin masih berkesempatan untuk menarik keuntungan dari kondisi itu, setidaknya bagi divisi TI-nya.

Selama penantian itu, low cost airline lainnya yang menggunakan aiRES, yakni WestJet yang bermarkas di Calgary, Kanada tak lama lagi akan go-live. Dari sini, Virgin dapat memetik pelajaran sesungguhnya dalam penggunaan aplikasi aiRES, dan mengambil langkah-langkah antisipasi yang dibutuhkan ketika giliran mereka tiba.

Untuk sementara waktu, Virgin America memang harus bersabar sebelum bisa mewujudkan janji-janjinya. Agaknya, mereka harus mengusung tag line perusahaannya: an airline we hope you’ll love lebih lama lagi sebelum bisa mengubahnya menjadi an airline you’ll love. /aa


Read more...
0

Dengan TI Membangun Bisnis “Low-Cost, High Value”

Dalam waktu setahun, Virgin America membangun sebuah ekosistem TI dari nol untuk mendukung operasi perusahaan penerbangan yang efisien namun bernilai tinggi. Apa saja yang dilakukannya? Dulu, naik pesawat terbang bagi sebagian besar orang hanyalah sekedar impian. Naik pesawat terbang identik dengan harga tiket mahal, dan eksklusif bagi kalangan mampu. Tapi, belakangan kondisi itu berubah. Selama lebih dari satu dekade terakhir, dunia penerbangan komersial global semakin marak, diwarnai dengan hadirnya berbagai low-cost airlines atau no-frills airlines.

Sesuai namanya, low-cost airlines menawarkan harga tiket jauh lebih murah ketimbang airline tradisional. Namun, hal itu harus ditebus dengan “sedikit” mengorbankan kenyamanan penumpang. Full services seperti yang diberikan airline tradisional dipangkas. Layanan-layanan seperti minuman gratis misalnya, ditiadakan.

Namun, pelan-pelan citra low cost airline yang mengesampingkan kenyamanan bagi penumpang agaknya akan segera berubah. Sejumlah low-cost airline, baik yang sudah eksis maupun yang akan segera beroperasi mengambil ancang-ancang melakukan terobosan untuk meningkatkan customer experience-nya.

Hal itu yang menjadi salah satu tujuan low-cost airline Virgin America. Sebagai maskapai penerbangan debutan, yang baru akan melakukan penerbangan perdananya tahun ini, Virgin America bercita-cita membangun citra baru di dunia low-cost airline.

Harga tiketnya setara dengan harga tiket terendah untuk penerbangan cross-country pulang pergi seharga dibawah 300 dolar, seperti yang ditawarkan maskapai penerbangan JetBlue. Tapi, lebih dari itu, perusahaan ini ingin memberikan customer experience layaknya maskapai penerbangan kelas dunia seperti Singapore Airlines.

Diferensiasi apa yang akan ditawarkan Virgin America memang belum sepenuhnya diungkap para petinggi perusahaan itu sebelum mereka benar-benar beroperasi tahun ini.

Setidaknya publik baru mengetahui rute perdana maskapai ini adalah San Fransisco ke New York, memiliki armada terdiri dari 34 unit pesawat gres Airbus A320 serta penawaran fasilitas in-flight yang nyaman untuk penumpang, misalnya penggunaan kursi penumpang buatan Recaro dengan sandaran tipis sehingga memberikan ruang kaki lebih lega bagi penumpang di belakangnya. Selain itu, calon penumpang pun akan lebih mudah mendapatkan tiket karena 70 persen tiket akan mereka bisa peroleh melalui Web.

Pada intinya, seperti yang diungkapkan Todd Pawlowski, vice president guest service and airports, Virgin America, pihaknya ingin memberikan kastamer lebih dari apa yang mereka bayar dan meningkatkan kualitas guest experience-nya.

“Akan ada lebih banyak full service. Tapi kami tidak akan membuat kastamer harus membayar lebih untuk menikmatinya,” tegasnya.

Nah, yang tak kalah menarik adalah bagaimana Virgin America bisa mewujudkan segala fasilitas layaknya airline tradisional itu. Perusahaan ini membangun visi yang jarang dilakukan maskapai penerbangan debutan lainnya: menjadikan TI sebagai kunci dengan membangun strategi TI yang ramping, murah dan efektif.

Low cost, high value
Virgin America sejak awal sadar bahwa kemampuannya untuk menawarkan diferensiasi layanan kepada kastamer yang peka terhadap harga akan sangat bergantung pada bagaimana menjaga biaya TI tetap rendah.

Layaknya perusahaan startup, Virgin America harus melakukan banyak hal dengan dana terbatas, meski termasuk yang terbesar untuk ukuran low-cost airline. Modal awal perusahaan tidak lebih dari 177,3 juta dolar AS, sebagian untuk membeli lisensi penggunaan nama Virgin yang dibeli dari Virgin Management milik entrepreneur terkemuka asal Inggris, Sir Richard Branson.

Upaya untuk membangun TI yang kuat namun efisien pun tercermin dari keputusan perusahaan itu untuk merekrut Bill Maguire sebagai chief information officer (CIO) Virgin America.

Membaca rilis pers terkait dengan penunjukkan Maguire terlihat jelas bahwa Virgin America terkesan akan gaya kepemimpinan pria 53 tahun ini yang cenderung cost oriented.

Prestasinya menekan cost TI sebesar 4 juta dolar per tahun ketika menjabat sebagai CIO Aspect Communications, serta menghemat biaya sebesar 3 juta dolar dengan melakukan pembenahan infrastruktur TI ketika ia menjabat juga sebagai CIO di Legato Systems adalah nilai plus yang membuat Virgin America meminangnya.

"Bill adalah seorang technology leader yang inovatif dan fokus pada biaya,” puji Fred Reid, CEO Virgin America. “Ia dapat membuktikan bahwa ia dapat memanfaatkan teknologi untuk secara efektif menyeimbangkan cost control di dalam sebuah perusahaan jasa high-profile yang penuh dengan berbagai macam tuntutan.”

Maguire pun sadar bahwa sebagai perusahaan start-up, Virgin America memiliki sumberdaya yang relatif terbatas. Sedapat mungkin setiap dolar yang dihemat dari sebuah sistem TI, katakanlah memangkas sistem back-end TI yang tidak memberikan value bagi kastamer, bisa dialihkan ke hal-hal yang memberikan dampak lebih besar bagi kastamer. Misalnya, pembangunan kios-kios layanan di setiap terminal bandara.

Oleh karena itu, begitu ia menduduki kursi CIO Virgin Airlines, ia pun merencanakan untuk menggelar sebuah paduan sistem yang berbiaya rendah (bahkan dalam beberapa kasus tidak memerlukan biaya), efisien serta agile untuk membangun basis bisnis Virgin America yang bergaya “low-cost, high-value”.

“Kami hadir pada saat teknologi sudah berkembang jauh lebih ringkas, cepat dan fleksibel,” ujarnya. ”Jadi kami tidak perlu menggelar mainframe untuk menjalankan sistem-sistem kompleks yang dimiliki airline besar seperti United dan American.” /aa


Read more...
0

Berbagai Tantangan Manajer TI Dewasa Ini

Perubahan lingkungan bisnis dan Teknologi Informasi (TI) semakin memberi tantangan berat bagi kalangan manajer TI. Bagaimana Anda melihatnya dan apa saja tantangan itu?

Sebagai seorang manajer Teknologi Informasi (TI), yang secara pengetahuan didukung oleh pendidikan formal sekolah komputer bergengsi ditambah dengan pengalamannya bertahun-tahun bekerja di perusahaan TI, membuat Kiko tidak berpuas diri. Dia sadar, betapapun lulusan perguruan tinggi dan dengan pengalaman yang cukup banyak, namun masalah yang dihadapinya sehari-hari semakin menyadarkan dirinya bahwa pengetahuan dan ketrampilannya kudu ditambah. Itu kalau dia tidak ingin ketinggalan dibandingkan teman-teman lainnya, bukan saja yang seangkatan, melainkan juga dari angkatan yang lebih baru.

Namun, yang lebih penting lagi, bukan bersaing dengan teman-teman seangkatannya. Kiko sangat menyadari bahwa kemajuan dan perkembangan TI sangat pesat, sehingga perlu kejelian dalam memahami berbagai produk maupun solusi, dari yang baru hingga yang sudah lama, dan bagaimana relevansinya dengan tuntutan pekerjaan yang dihadapi saat ini.“

Kalau kita ikuti terus perkembangan TI saat ini, banyak sekali perkembangan baru dan bahkan lebih canggih. "Tapi, saya tidak sembarangan mencoba-coba teknologi yang baru. Harus lebih selektif,” ujar Kiko saat ditanya bagaimana pandangannya menghadapi kemajuan TI dewasa ini.

Adi, yang juga seorang manajer TI sebuah bank, juga mengamini apa yang diungkapkan Kiko. “Tidak setiap kemajuan teknologi kami adop untuk diterapkan di sini. Kami harus selektif, karena yang kami tuju adalah bagaimana teknologi yang kami terapkan benar-benar dapat menjawab kebutuhan yang kami hadapi. Jadi tidak semata-mata menerapkan teknologi baru yang lebih canggih saja,” ungkap Adi di kantornya yang sangat asri di bilangan Bintaro.

Hal senada juga ditegaskan oleh Uun Widhi Untoro, President Director, IFS Solutions Indonesia. “Dalam menerapkan suatu aplikasi, memang tidak selalu harus bertumpu pada teknologi yang baru dan canggih saja. Yang pertama-tama harus dicari tahu adalah kebutuhannya apa, kemudian tujuan penerapannya apa, targetnya apa, baru bagaimana hal itu bisa disolusi,” tegas Uun.

Memang, dalam menerapkan suatu teknologi faktor kelangsungan dukungan yang diberikan menjadi pertimbangan sangat penting. Jangan sampai teknologi yang baru diterapkan ternyata sudah jauh tertinggal, sehingga tak nyambung dengan perkembangan dan kemajuan yang baru. Karenanya, dalam berbagai aplikasi, skalabilitas atau kemampuan untuk ditingkatkan di masa datang, juga menjadi pertimbangan penting. Dengan begitu, ketika ada kebutuhan baru, secara teknologis hal itu terdukung dengan baik. Lebih jauh, jika perkembangan itu harus didukung oleh teknologi yang lebih baru dan maju, memperbaruinya juga dimungkinkan.

Namun, satu hal yang sangat penting adalah, sebagaimana disadari baik oleh Kiko maupun Adi, bahwa kemajuan TI sangatlah pesat, karenanya perlu lebih selektif dalam memilih dan menerapkannya. Sebaliknya, mereka sendiri, sebagai seorang manajer TI, harus benar-benar menyadari bahwa pengetahuan dan ketrampilan yang mereka miliki saat ini harus terus ditingkatkan. Bukan saja karena semakin tingginya persaingan dalam bidang kerja yang mereka geluti, melainkan juga tuntutan pekerjaan mereka sejalan dengan kemajuan TI yang sangat pesat, baik dalam aspek peranti lunak maupun perangkat keras dan solusi integrasi serta kolaborasi.

Berikut ini ada beberapa pertimbangan yang layak menjadi perhatian kalangan manajer TI dalam melihat tantangan profesi mereka di masa datang. Boleh jadi hal ini tidak sepenuhnya tepat, tetapi pandangan ini setidaknya semakin mendorong Anda untuk melakukan introspeksi untuk kemudian melangkah ke tahun-tahun mendatang dengan visi yang lebih baik.

Bagaimana pun, Anda pasti setuju bahwa meningkatkan kemampuan dan ketrampilan di profesi Anda sebagai seorang manajer TI, bukan saja sangat penting melainkan strategis bagi mempertahankan posisi Anda sekarang ini dan sekaligus membuat Anda menjadi lebih baik dari sebelumnya.

Memang tak ada yang tahu bagaimana dan apa yang akan terjadi di lingkungan Anda atau dengan Anda sendiri. Namun, kalau Anda menoleh kembali ke 3 atau 5 tahun yang lalu, apa yang sebenarnya telah Anda lakukan, bagaimana Anda melakukannya, bagaimana dan di mana posisi Anda sekarang, mungkin hal-hal berikut ini akan memberi Anda gambaran optimisme dan ke mana arah yang akan Anda tuju. Berikut ini beberapa ketrampilan yang diperkirakan akan menjadi perhatian banyak kalangan manajer TI dan selayaknya Anda kuasai dengan baik.

Terlibat dengan lebih banyak kontraktor dan aplikasi alihdaya (outsource)

Dewasa ini, banyak kalangan manajer TI yang telah bekerjasama dengan berbagai kontraktor TI dan mengalihdayakan berbagai aplikasi serta fungsi-fungsi TI-nya. Di masa datang, semua manajer TI akan melakukan hal yang sama. Kalau sekarang ini ada kecenderungan perusahaan-perusahaan untuk melakukan alihdaya fungsi TI, maka 5 atau 10 tahun ke depan hal itu diperkirakan akan semakin meningkat. Jika hal itu tak dapat dilakukan di dalam negeri, maka alihdaya akan lebih banyak dilakukan di luar negeri. Pertimbangannya lebih pada profesionalisme pelayanan dan biaya yang sangat kompetitif. Ini berarti, di masa datang perusahaan-perusahaan akan semakin realistis dalam menangani masalah TI mereka.

Selain melakukan alihdaya sejumlah fungsi TI, maka mereka diperkirakan tidak akan menambah jumlah pekerja TI yang bersifat tetap. Mereka lebih memilih mempekerjakan pekerja TI paruh-waktu atau temporer. Karenanya, kalangan manajer TI masa datang akan terkait dengan berbagai hal, antara lain menangani pekerja TI tetap dan temporer, kerjasama alihdaya, baik di dalam maupun di luar negeri, meningkatkan ketrampilan pekerja TI yang ada, yang semua itu akan membutuhkan kemampuan pengelolaan yang lebih baik.

Karenanya kalangan manajer TI semakin dituntut untuk meningkatkan kemampuannya dalam penanganan proyek TI, yang mungkin selama ini masih dianggap hal yang sulit dilakukan. Atau merasa bahwa kemampuan mengelola, bukan bidang pekerjaan utama. Padahal, tantangan ke depan tak bisa tidak akan terkait dengan pengelolaan berbagai aspek tersebut di atas. Bisa jadi malah lebih banyak hal yang harus dikelola, yang terkait dengan tanggungjawab mereka sebagai manajer TI.

Optimalisasi waktu pengerjaan proyek

Kalau selama ini Anda telah berhasil menangani proyek penerapan ERP (Enterprise Resource Planning) misalnya, itu bagus. Pengalaman Anda semakin bertambah. Tetapi, jangan bangga dulu. Nantinya, perusahaan-perusahaan tak lagi bisa mentoleransi penerapan suatu aplikasi yang memakan waktu lebih lama atau bahkan yang tak selesai-selesai. Kalaupun selesai, waktu yang dibutuhkan sangat lama, sehingga tidak lagi efisien dan konpetitif dalam peningkatan daya saingnya.

Ke depan, diperkirakan penerapan aplikasi akan lebih bersifat kompartemen atau bahkan berupa modul-modul, sehingga dapat diterapkan secara lebih cepat. Bisa jadi, perusahaan tak akan banyak melakukan kustomisasi, meski konsekuensinya mengurangi fleksibilitasnya. Namun, tantangannya menjadi lebih berat, karena aplikasi apapun yang Anda terapkan tuntutan utamanya adalah apakah hal itu akan meningkatkan nilai tambah atau keuntungan kompetitif perusahaan Anda.

Karenanya, kalangan manajer TI semakin dituntut untuk menerapakan suatu aplikasi yang tepat, dapat dilakukan secara cepat, dan berdampak pada peningkatan daya saing perusahaan. Pengelolaan waktu yang baik akan membuat Anda semakin mampu menangani proyek implementasi TI Anda secara baik, cepat dan berdampak positif bagi perusahaan. Lebih dari itu, manajemen perusahaan tidak akan lebih sabar menunggu implementasi yang Anda lakukan cepat selesai dan segera memberi manfaat bagi kemajuan perusahaan.

Mengelola suatu tim kecil yang supergeneralis

Dengan semakin banyaknya pekerjaan yang ditangani, baik oleh kalangan kontraktor maupun perusahaan pengalihdaya, maka di masa datang Anda akan memiliki lebih banyak karyawan regular. Lebih jauh jauh lagi, staf Anda adalah mereka-mereka yang sangat terlatih dan berketrampilan tinggi dan mereka-mereka yang generalis (flexible generalists).

Karenanya, jika perusahaan Anda membutuhkan staf baru, maka tantangan Anda adalah bagaimana mendapatkan orang-orang yang memiliki banyak pengalaman dalam banyak aspek, yang terkait dengan berbagai platforms dan aplikasi. Dengan pengalaman semacam itu mereka akan lebih leluasa berpindah dari satu aplikasi ke aplikasi lain, dari satu proyek ke proyek lain secara cepat. Juga, dapat dengan mudah memilih teknologi yang dibutuhkan secara lebih baik.

Dan yang lebih menarik, mereka-mereka yang terbaik dalam tim Anda akan berkesempatan membantu Anda dalam melakukan pekerjaan yang berat. Yakni mengelola berbagai macam proyek dengan platform dan aplikasi yang berbeda, tingkat keahlian orang-orang yang sangat variatif, serta sumber-sumber luar yang juga berbeda, serta tantangan menyelaraskan antara sumber di dalam dan yang dari luar perusahaan. Karenanya, meski Anda memiliki tim yang kecil, maka itu harus terdiri dari orang-orang yang benar-benar memiliki kompetensi tinggi – supergeneralis.

Terus-menerus Melakukan Peningkatan Paradigma (paradigm shifts)

Kalau sekarang ini ada kecenderungan bahwa kombinasi antara aplikasi open source dan semakin murahnya harga perangkat keras membuat perusahaan-perusahaan TI mengubah pandangan mereka mengenai pengembangan aplikasi dan perawatan (maintenance), tetapi tak berapa lama lagi hal itu akan segera berubah. Karena, pengembangan peranti lunak maupun peranti keras kini semakin dimungkinkan dilakukan oleh banyak perusahaan. Artinya, ke depan akan semakin mungkin terjadinya perubahan-perubahan yang bahkan drastis dalam melihat dan menangani TI. Untuk itu, tantangan Anda sebagai manajer TI adalah bagaimana Anda dapat mengenal dengan baik apa yang sesungguhnya menjadi tren dan apa yang hanya sekedar hype. Karena hal itu yang akan mendukung keberhasilan Anda.

Masa Depan Mulai Dari Sekarang

Kalau Anda pikir bahwa apa yang dikemukakan ini cukup mewakili tren yang ada sekarang ini ke depan, maka sebaiknya sekaranglah saatnya Anda menyiapkan diri ke arah itu. Tapi, hal itu tidak menutup pandangan Anda sendiri sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman yang telah Anda miliki. Apapun perkembangannya, ke depan perubahan-perubahan yang bahkan drastis sekalipun mungkin terjadi, khususnya yang terkait dengan bidang dan tanggungjawab Anda sebagai manajer TI. Untuk itu, semakin cepat Anda menyadari perubahan dan tren yang berkembang dan semakin cepat pula Anda menyiapkan diri untuk itu, maka akan semakin siaplah Anda menghadapi tantangan masa depan dalam profesi Anda. [insa]


Read more...
0

Belajar Dari Pengalaman Itu Penting

Jack Stack, President dan CEO SRC Holdings Corp., Springfield, AS, pernah mengungkapkan, “Jangan sekali-kali mengubah rencana tahunan Anda di tengah jalan, tak peduli seberapa jauh hal itu menyimpang dari rencana semula yang telah Anda tetapkan”.

Bertahan dengan rencana tahunan (annual plan), dewasa ini, memang tidaklah mudah. Perubahan-perubahan, baik dalam skala besar maupun kecil, langsung maupun tidak langsung, berlangsung sedemikian cepat, sehingga seringkali menuntut para manajer untuk tetap tanggap atas berbagai perubahan itu. Karena, sangat boleh jadi, kegiatan usaha yang dijalani akan sangat terkait dengan berbagai perubahan tersebut. Tetapi, apakah karena alasan itu kita harus mengubah rencana tahunan di tengah jalan?

Mengapa hal itu sangat penting diperhatikan? Tak lain, karena rencana tahunan dibuat, tentunya dengan belajar dari capaian yang di raih pada tahun-tahun sebelumnya dengan memperhatikan berbagai aspek perubahan maupun capaian yang ingin diraih pada tahun berikutnya. Perubahan-perubahan mungkin saja terjadi di tengah jalan, yang dapat mempengaruhi capaian yang diharapkan berdasarkan rencana tahunan itu.

Apa yang bisa dipelajari dari isu ini? Pertama, tetap bertahan dengan rencana tahunan berarti memberi kesempatan untuk benar-benar menerapkan secara utuh rencana yang telah disiapkan pada tahun sebelumnya. Kedua, karena diterapkan secara utuh dan mengikuti rencana tahunan tersebut, ada peluang untuk mengukur kinerja pencapaian yang sesuai dengan apa yang dijalani. Ketiga, tetap bertahan dengan rencana tahunan tersebut berarti memberi peluang bagi setiap orang di dalam perusahaan untuk fokus pada tujuan dan sekaligus memahami dan menyadari deviasi atau penyimpangan yang terjadi, walaupun mungkin menyakitkan.

Bertahan dengan rencana tahunan, tidak berarti membuat para manajer tidak lagi fleksibel menghadapi situasi dan perubahan-perubahan yang terjadi. Sebaliknya, para manajer harus tetap dekat dengan pasar dan secara terus-menerus melakukan revisi terhadap prediksinya (forecast) sehingga lebih mendekati kenyataan yang ada.

Perbaikan dan peningkatan, baik secara kualititif maupun kuantitatif hampir tak dapat dilakukan dengan baik, terutama ketika rencana tahunan yang semula diterapkan tiba-tiba ditubah dan diganti dengan rencana yang baru. Mengubah rencana, sama aja dengan menghilangkan “jejak” yang telah dilakukan dan memulai sesuatunya dari awal lagi yang sesuai dengan rencana yang baru. Sehingga, penyimpangan yang terjadi, tak lagi dapat dievaluasi kinerjanya, karena belum sempat diterapkan secara utuh.

Mengubah rencana di tengah jalan, membuat kesalahan-kesalahan yang terjadi lenyap dan para manajer tak dapat belajar dari kesalahan atau kesilapan yang terjadi tidak lagi dapat dijadikan “pelajaran” agar tidak terulang lagi di tahun-tahun mendatang. Menurut Jack Stack, “Para manajer merasa mengetahui apa yang menjadi sebab terjadinya penyimpangan, tetapi sebenarnya mereka tidak menganalisanya. Mereka tidak fokus pada hal itu dan, karenanya, mereka tidak memperbaikinya”.

Dari pelajaran kecil di lingkungan perusahaan dengan sekian puluh atau ratus karyawan ini, peningkatan (improvement) yang dilakukan secara terus-menerus; melihat ke belakang terhadap apa yang telah dilakukan, penyimpangan apa yang telah terjadi, pelajaran apa yang dapat diambil, sebenarnya bisa ditarik secara luas menjadi masalah yang tengah kita hadapi sekarang ini dengan Indonesia.

Boleh dibilang, kita sangat sulit memahami “kemauan belajar dari masa lalu atau kesalahan yang dilakukan” dari warga negeri ini. Kita seolah sangat cepat melupakan kesalahan atau penyimpangan yang terjadi. Dan, pada saat yang sama, kita terburu-buru untuk melihat sesuatu yang jauh di depan, tanpa lagi peduli apa yang telah kita capai, apa yang telah kita siapkan untuk itu, apakah yang kita lakukan sudah benar atau tepat, atau justru melahirkan “set-back”. Itu hampir tak lagi kita pertanyakan.

Belajar runtut dari pengalaman yang lalu, mau mengakui kesalahan untuk kemudian tidak melakukan kesalahan yang sama di kemudian hari, menyiapkan langkah-langkah yang semakin hari semakin meningkat, seringkali luput dari pikiran kita, karena kita semakin sibuk dengan segala “yang instan”. Termasuk mengubah rencana “di tengah jalan” itu. Mau belajar dari kesalahan, memang butuh waktu untuk kita sadari sepenuhnya! [insa]


Read more...
0

Tantangan Pimpinan Abad 21

Kemajuan Teknologi Informasi (TI) telah mendorong berbagai perubahan mendasar. Para pemimpin abad 21 ditantang untuk menghadapi era baru ini, yang disebut era informasi. Apa saja yang perlu diperhatikan?

Abad 21 dipandang sebagai abad informasi. Dikembangkannya teknologi informasi, komunikasi dan telekomunikasi, serta Internet pada abad 20 yang lalu, telah mendorong terjadinya berbagai perubahan mendasar. Tidak hanya dalam cara berkomunikasi, melainkan juga cara berbisnis. Hal itu sebagai akibat munculnya berbagai moda komunikasi dan informasi (komputer desktop, laptop, palmtop), termasuk berkembangnya perangkat komunikasi bergerak tanpa kabel (wireless mobile communications), seperti telepon seluler (ponsel), PDA (personal digital assistant) dan lain sebagainya. Bahkan, munculnya berbagai bidang bisnis yang sama sekali baru. Paradigma baru, akibat pesatnya penerapan TI di banyak sektor kehidupan manusia ini, sekaligus menjadi tantangan baru para pemimpin abad 21.

REVOLUSI TEKNOLOGI
Disadari atau tidak, kini hampir setiap perusahaan dan di hampir setiap meja para manajer, komputer dan berbagai perangkat komunikasi lainnya, sangat mudah dijumpai. Perangkat tersebut bagaikan sudah menjadi keharusan dalam menghadapi era informasi dan tantangan lingkungan bisnis yang sarat dengan informasi.

Dalam laporan penelitiannya “New Work Habits for a Radically Changing World” (Pritchett & Associates, 1998), mengungkapkan bahwa sejak 1983 tak kurang dari 25 juta komputer digunakan oleh pekerja Amerika. Selain itu, pelanggan ponsel meningkat dari nol pada 1983 menjadi 16 juta akhir 1993. Tahun 1993, lebih dari 19 juta orang telah menggunakan penyeranta (pagers) dan 12 juta pesan telah dikirim. Saat ini, tahun 2008, tak kurang dari 215 juta orang telah menggunakan Internet.

Di Indonesia, saat ini diperkirakan ada lebih dari 110 juta orang pelanggan telepon selular dan puluhan juta pesan SMS (short message service) per hari diterima atau dikirim oleh para pelanggan ponsel. Lebih dari 20 juta orang telah menggunakan Internet, baik di rumah maupun di kantor. Belum lagi, banyak komunikasi data dan informasi terjadi di lingkungan pekerjaan, baik di Indonesia maupun mancanegara.

IMPLIKASI INFORMASI
Pritchett (Pritchett & Associates) memperkirakan bahwa informasi yang dihasilkan dalam 30 tahun ini jauh lebih banyak dibandingkan kurun 5,000 tahun sebelumnya. Begitu juga, penyediaan informasi meningkat dua kali lipat setiap 5 tahun. Karenanya, menurut Pritchett, keberhasilan seorang manajer dan pimpinan di masa datang tidak ditentukan oleh “apa yang mereka ketahui, melainkan seberapa cepat mereka dapat belajar”.

Karakteristik mereka ditandai tidak oleh bagaimana mereka bisa mengakses informasi, melainkan bagaimana mereka mengakses informasi yang paling sesuai dan memisahkannya dari segunung informasi lainnya yang tidak relevan. Keberhasilan mereka tidak dikarenakan memiliki ketrampilan dan perangkat tradisional, tetapi fleksibilitas dan adaptabilitas yang tinggi dalam berhubungan dengan teknologi dan manusia, serta kemampuan bertahan terhubung dengan lainnya dalam berbagai perubahan dunia.

Jika diperhatikan sungguh-sungguh, perbedaan yang kita rasakan antara 1990 dan 2000 mungkin tidak seekstrim perbedaan antara 2000 dan 2010, saat kita mengalami suatu dunia yang tidak hanya menginginkan pemikiran-ulang mengenai kompetensi manajemen, tetapi lebih dari itu, redefinisi secara mendasar kontrak sosial antara majikan dan pekerja, mitra dan mitra kerja, serta pekerja dengan pekerjaan itu sendiri.

TANTANGAN YANG DIHADAPI
Dalam menghadapi dunia yang berubah, juga paradigmanya, sebagaimana diungkapkan Mark David Nevins, Direktur pelatihan dan pengembangan Booz-Allen & Hamilton, tantangan para pemimpin masa depan akan tertuju pada tiga aspek: tekanan pasar, SDM dan kompetensi kepemimpinan.

Tekanan Pasar
Dunia bisnis dan organisasi yang mendukungnya, kini, berbeda. Banyak yang telah berubah dan meningkat (enhanced) akibat penerapan TI secara luas. Tak heran kalau pasar semakin memberi tekanan perubahan terhadap organisasi, bahkan hingga ke tingkat ekonomi makro. Akibatnya, tuntutan terhadap organisasi juga semakin besar. Tekanan pasar ini dapat dilihat sebagai akumulasi pengaruh perilaku dan keinginan dari mereka yang ada di pasar, dan tidak hanya sekadar membutuhkan penyediaan barang atau layanan. Hal ini dapat dilihat dari munculnya berbagai langkah merjer dan akuisisi, serta semakin meluasnya jejak perusahaan-perusahaan mancanegara di seluruh dunia.

Menjadi global, atau lebih tepatnya menawarkan produk dan jasa di sejumlah negara dengan aneka ragam budaya, akan semakin meningkatkan luasnya pasar yang harus dilayani. Sebaliknya, kemajuan teknologi telah memungkinkan dihasilkannya produk dan jasa yang semakin efisien, sehingga peningkatan kapasitas produk dan jasa tidak, pada saat yang sama, meningkatkan daya tahan organisasi. Dari sekitar 100 perusahaan terbesar Amerika di awal abad ke-20, hanya sekitar 16 saja yang kini bertahan.

Selain itu, perusahaan Fortune 500 tahun 1970, hanya sepertiganya yang masih bertahan di awal 1980-an. Pada tahun 1980-an itu, 230 perusahaan (46%) sama sekali hilang dari daftar Fortune 500. Jelas, bahwa besarnya organisasi dan reputasi tidak menjamin kelangsungan keberhasilan atau kemampuan bertahan.

Di sisi lain, bisnis-bisnis yang berhasil adalah yang tidak mengabaikan kekuatan sejarah dan kekhususannya, serta tidak mengabaikan pembelajaran masa lalu dan kemampuan berpikir metafor – yang “lama” secara cepat bisa menjadi “baru”, bahkan yang “baru” hari ini tidak sama dengan yang “baru” kemarin.

Masalah SDM
Dalam pandangan seorang manajer, masalah SDM hanya terkait dengan hubungan antara karyawan dengan perusahaan. Masalah ini biasanya berada di bawah departemen SDM, jauh dari inti bisnis. Namun, sekarang, masalah SDM telah menjadi sesuatu yang sangat penting.

Di awal abad 21 ini, kurang dari setengah tenaga kerja akan tetap mempertahankan bekerja penuh waktu. Tetapi, mereka yang bekerja sendiri, sementara dan paruh waktu terus meningkat. Di Amerika, 45 juta pekerja independen – bekerja sendiri, sementara, paruh waktu dan konsultan, tumbuh sebesar 57 persen dalam kurun 15 tahun. Yang tidak begitu jelas bagi para manajer masa depan adalah bahwa para pekerja masa depan memiliki harapan, kebutuhan dan organisasi yang berbeda. Begitu juga, pola hubungan antara majikan dan pekerjanya.

Dengan meningkatnya kompleksitas dan globalisasi, organisasi semakin membutuhkan ketrampilan dan kemampuan dari para pemimpin mereka, yang mulai difahami. Yang paling penting dari perkembangan ini adalah kemampuan menyeimbangkan kebutuhan pekerja (global) dan kebutuhan pelanggan (global dan lokal). Tantangan penyeimbangan ini yang dirasakan semakin berat, karena harus dilakukan secara efisien dan menguntungkan kedua belah pihak.

Dengan semakin bervariasinya pekerja yang dihadapi, para pemimpin masa depan tumbuh dalam suatu dunia dimana perbedaan merupakan suatu kenyataan yang produktif, menarik dan menyenangkan, sehingga taksonomi tradisional, struktur dan batasan-batasan (termasuk ras, etnik dan lainnya) semakin kurang diperhatikan. Karenanya, mereka yang bisa menerima perbedaan individual di tempat kerja dan melihatnya semakin sumber enerji kreativitas dan produktivitas akan memiliki akses mendapatkan pekerja yang terbaik dan berbakat.

Ke depan kita mungkin tak lagi bisa berharap pekerja, juga pimpinannya (manajer, CEO dan lainnya) yang memiliki loyalitas jangka panjang. Mereka akan cenderung memilih berbagai tawaran baru yang lebih sesuai dan berimbang dengan keinginan mereka. Karenanya, nilai kontrak sosial antara majikan dengan pekerja sama pentingnya dengan nilai pelayanan ke pasar dan pelanggan mereka.

Kompetensi Kepemimpinan
Dalam aspek kepemimpinan, strategi yang fokus dan visi yang jelas ditambah kemampuan praktis kapan bersikap fleksibel dan menerima (adaptable) menjadi sangat penting dalam bertahan. Kemampuan mengelola berbagai pandangan secara bersamaan akan menjadi pembeda para manajer terbaik: mempertahankan sasaran tingkat tinggi sambil mengelola dan menjejakkan keberhasilan harian; memahami secara seimbang antara titik pandangan dengan kebutuhan pelanggan dan organisasi; mampu berempati dengan semua yang berkepentingan (stakeholders) dalam upaya mengembangkan SDM, meningkatkan perubahan-perubahan produktif dan, pada saat yang sama, mempertahankan “nyawa perusahaan”.

Kareakteristik utama para pemimpin baru yang mampu bertahan dalam era ini adalah mereka yang fokus pada aspek-aspek tersembunyi (intangible) dalam suatu organisasi. Abad informasi membutuhkan pemimpin baru, yakni mereka yang mampu menunjukkan fleksibilitas dan empati sambil mempertahankan nilai-nilai utama organisasi dan mencari jalan menghindari rintangan yang tak dapat diprediksi sebelumnya. Mereka harus memiliki inspirasi, kemampuan teknologis, tetapi tidak kehilangan kemampuannya dalam hal-hal yang rinci, jiwa kewiraswastaan, benar-benar melayani dan inklusif. Bukan sebaliknya, ketergantungan atau sangat berkuasa (autocratic).

Kunci kompetensi kepemimpinan lainnya adalah kemampuan mengembangkan dan mengartikulasikan proposisi nilai – mempertahankannya dalam suatu pasar yang dinamis dan memberdayakan lainnya agar berkemampuan; investasi dalam suatu model bisnis yang mengarahkan “employee decision-making” di semua tingkatan; komit terhadap budaya yang menghargai pengajaran dan pembelajaran sambil menyelaraskan tujuan individu dengan tujuan perusahaan, dan memahami apa yang benar-benar membangun dan mengelola sistem transformasi pengetahuan. [insa]


Read more...
0

Transformasi Layanan Publik Dan Peran CIO

Transformasi e-Business Centrelink sendiri mulai bergulir tahun 1997, diawali sebuah program percontohan dimana para customer menggunakan telepon dan Internet untuk mengakses fasilitas self-service. Sebelumnya, seorang customer masih harus menelepon, menulis surat permohonan atau mengunjungi kantor Centrelink dan menunggu hasilnya. Situs web Centrelink pun mendapat perhatian besar. Situs ini menyajikan informasi dan saran-saran yang lengkap sesuai dengan kebutuhan dan kondisi customer . Informasi-informasi yang dulu hanya bisa diperoleh di kantor-kantor Centrelink, kini bisa diperoleh melalui situs web dan disajikan dalam format yang mudah dipahami dan dapat di-download.

Namun, untuk menyediakan tingkat dukungan customer self-service yang paling mendasar sekalipun tetap membutuhkan solusi-solusi inovatif. Centrelink menemukan bahwa solusi middleware off-the-shelf maupun produk-produk komersial yang dimodifikasi tidak sesuai dengan tujuannya. Akhirnya, Centrelink memutuskan untuk membangun middleware -nya sendiri yang dikenal sebagai Centrelink Online Framework (COLF).

Produk self service pertama yang dirilis Centrelink, yakni Payment Details membutuhkan penerjemahan lebih dari 500 kode program dari berbagai tabel data dictionary yang tersimpan di sistem legacy . Hasilnya diubah menjadi “percakapan” yang bisa dimengerti dan dapat diakses melalui peranti lunak voice-recognition berbasis telepon, maupun melalui halaman Web. Artinya, para pengembang middleware ini perlu memahami bagaimana para staf Centrelink berinteraksi dengan customer , sehingga pengalaman memanfaatkan layanan Payment Details ini akan sama, tanpa memandang saluran komunikasi yang digunakan.

Produk-produk berikutnya juga menghadapi tantangan serupa, baik di sisi teknologi maupun dalam menerjemahkan kebijakan dan proses bisnis yang sudah ada ke dalam e-Business.

Kini, e-Business Centrelink telah beroperasi secara penuh dan meluas secara berkala. Apa yang ditawarkan Centrelink memungkinkan para kliennya mencari informasi dan memperbarui kontennya dengan mudah sesuai kebutuhan. Centrelink menerima dan memroses informasi klien jauh lebih cepat dibandingkan sebelumnya. Customer yang seringkali merasa tidak nyaman ketika berurusan langsung dengan sebuah kantor layanan public, kini bisa merasakan privasi yang lebih baik.

Di sisi lain, penyatuan berbagai layanan dan fungsi pemerintah ini pun membawa konsekuensi pada pengelolaan database penduduk. Tak pelak, data jutaan warga yang menjadi penerima bantuan sosial kemudian dipusatkan dan ditempatkan di Centrelink. Pemusatan itu tidak saja membantu Centrelink memastikan kelayakan seorang customer untuk mendapatkan manfaat dan tunjangan sosial, melainkan juga menjadi ujung tombak kampanye pemerintah melawan welfare fraud.

Centrelink kini dapat menggunakan nomor-nomor kode pajak yang tersimpan di database pusat untuk mencocokkan data yang tercantum pada formulir deklarasi pajak dengan sistem prescribed payments -nya. Para petugas Centrelink pun dapat menelusuri data mengenai saham, akte kelahiran dan kematian maupun akte tanah untuk memeriksa apakah pemohon yang mengajukan permohonan manfaat atau bantuan sosial dalam bentuk keringanan pajak itu berbohong atau tidak. Sistem data sharing ini terbukti efektif dalam memangkas manipulasi bantuan maupun lebih-bayar (over payment). Sekurangnya 10 juta dolar Australia dapat dihemat setiap minggunya.

Namun, yang paling menarik dari infrastruktur Centrelink adalah pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (ICT), khususnya mobile ICT untuk memperluas jangkauan layanan ke daerah terpencil dan pedesaan Australia . Mobile ICT ini diterapkan pada program Rural Outreach Program, yang memakan dana 5 juta dolar Australia . Melalui program ini, Centrelink menyediakan 74 agen Centrelink dan 11 layanan mobile , yang secara berkala mengunjungi komunitas-komunitas terpencil.

Untuk wilayah-wilayah yang tidak terlayani secara langsung, Centrelink menggelar fasilitas video conferencing , yang memungkinkan para customer di daerah pedesaan dan terpencil berbicara langsung dengan para agen Centrelink dari jarak ratusan kilometer.

Sementara itu, para staf lapangan Centrelink yang bertugas di daerah terpencil dapat memanfaatkan Remote Access Service. Seluruh informasi dan keahlian yang tersedia di kantor pusat Centrelink kini dapat diperoleh di bagian paling terpencil di wilayah gurun, dengan menggunakan sistem komputer mobile. Selain melayani para customer yang bermukim di komunitas terpencil, umumnya komunitas penduduk asli Aborigin, sistem yang terdiri sebuah ponsel dan sebuah notebook yang dilengkapi sistem enkripsi data ini dapat dibawa ke rumah sakit, panti jompo dan komunitas-komunitas gelandangan.

Peran CIO
Keberhasilan transformasi e-business salah satu layanan publik di Australia ini memang tak terlepas dari kepiawaian Treadwell. Bahkan, Marianne Broadbent, senior vice president, Gartner Inc. memuji Treadwell sebagai seorang eksekutif yang memiliki seluruh kualitas khusus yang layak dimiliki seorang pejabat publik, antara lain inklusif, mau mendengar, memperlihatkan rasa hormat kepada orang lain, namun tegas dalam mengambil keputusan dan bersikap sebagai pemimpin. Menurut Broadbent, Treadwell tahu bahwa banyak hal yang tidak ia kuasai, dan ia pun tak segan-segan bertanya. Sikap itu, menurut Broadbent, penting dimiliki seorang CIO yang tidak memiliki latar belakang teknik yang kuat.

Treadwell, yang sejak awal tahun ini mulai menjabat sebagai CIO untuk negara bagian Victoria , mengakui bahwa ketidaktahuannya pada masalah teknis TI justru membantunya dalam membuat langkah awal mewujudkan transformasi e-business di salah satu layanan publik terbesar di Australia. Kalau saja ia tahu tingkat kerumitan yang bakal dihadapinya, ia mungkin akan lebih khawatir dan sulit mengambil keputusan di awal.

Sependapat dengan Treadwell, Vardon mengatakan bahwa saat itu e-business masih merupakan bayangan. Mereka tidak tahu apa saja yang bakal dihadapinya, begitu pula kalangan lainnya. Namun, Verdon menegaskan bahwa pihaknya selalu memiliki sasaran jelas yang hendak dicapai.

“Kami pun belajar sambil bekerja. Kini, banyak staf kami yang dipandang sebagai sebagai pakar dalam bidang government e-business ,” ujar Vardon bangga. cio-in/arief


Read more...
0

Dari Birokrasi Angker Ke Customer-friendly

Centrelink, yang diluncurkan tahun 1997, merupakan perwujudan janji politik partai konservatif yang menang pemilu ketika itu. Tujuannya tak lain untuk menyediakan layanan satu-atap bagi 6,5 juta warga Australia, yang berhak mendapatkan tunjangan sosial. Australia sendiri berpenduduk sekitar 20 juta jiwa. Sebelum Centrelink didirikan, sebenarnya sudah ada sejumlah institusi pemerintah yang bertanggung jawab mendistribusikan tunjangan. Namun, hanya dua yang mendominasi ranah kesejahteraan sosial Australia, yakni Department of Social Services (DSS) dan Department of Employment, Education, Training and Youth Affairs (DEETYA).

Layaknya sebuah birokrasi pemerintahan, kedua institusi ini terbilang “gemuk.” DSS misalnya, mempekerjakan lebih dari 20.000 karyawan, sebagian besar ditempatkan di sekitar 300 kantor-kantor regional yang tersebar di seluruh negeri. Sementara, DEETYA mempekerjakan sekitar 12.000 orang dan memiliki jaringan 290 kantor lapangan. Tugas utamanya: membantu pengangguran mencari pekerjaan.

Biasanya, sebuah kantor regional menaungi sekitar 65 karyawan. Setiap harinya, mereka harus melayani berbagai macam klaim dan permohonan dari ratusan warga. Proses pengurusannya agak berbelit-belit. Mula-mula, seorang customer harus mengisi sebuah formulir dan kemudian menghadap ke petugas DSS, yang akan memeriksa kelengkapan dan keakuratan isian formulir tersebut. Banyak yang mengeluhkan bahwa proses itu mirip interogasi ketimbang tatap muka.

Masalahnya tak berhenti sampai di situ. Setelah formulir terisi lengkap dan akurat, keputusan apakah pemohon layak mendapatkan tunjangan – dan kalau layak berapa besar yang akan didapatkan – tidak langsung dibuat saat itu juga. Pertama, seorang “petugas penilai” akan memeriksa aplikasi untuk menentukan kelayakan pemohon. Lolos dari sarang macan, proses berlanjut ke seorang “petugas penentu”, yang akan memeriksa dan menyetujui atau tidak “keputusan” petugas penilai.

Prosesnya memang panjang. Seorang pemohon baru biasanya harus datang beberapa kali, karena jarang yang bisa memperoleh seluruh informasi dalam kunjungan pertama. Nah, dalam kasus jenis klaim dan permohonan yang lebih kompleks, proses ini bisa memakan waktu berbulan-bulan.

Di tanah air, proses birokrasi semacam itu sudah biasa, bahkan termasuk “proses yang tidak rumit.” Namun, di negeri demokrasi barat dan makmur semacam Australia, hal ini termasuk mengganggu, kalau tidak boleh dibilang aib. Upaya rasionalisasi dan pembenahan bukannya tidak pernah dilakukan. Tapi selalu terbentur masalah klasik, yang rasanya cukup janggal jika terjadi di negara maju, yakni rivalitas antar badan pemerintahan itu sendiri, khususnya antara DSS dan DEETYA.

Lucunya, di masa-masa awal pemerintahan PM John Howard tahun 1996, masalah rasionalisasi dan rivalitas itu cukup diselesaikan oleh tiga eksekutif pemerintahan senior. Hanya dalam waktu 15 menit dicapai kesepakatan untuk menggabungkan layanan yang diberikan kedua badan tersebut dan beralih ke pendekatan e-business untuk memperbaik proses distribusi tunjangan sosial secara menyeluruh.

Entitas layanan publik baru itu pun resmi dinamakan Centrelink. Pada awalnya, badan ini hanya bertanggung jawab menyalurkan tunjangan-tunjangan yang diberikan DSS dan DEETYA. Namun, dalam perjalanannya, Centrelink pun memroses berbagai pembayaran untuk 20 badan federal maupun pemerintahan negara bagian.

Tak pelak, pembentukan one-stop shop untuk layanan sosial ini pun menimbulkan semacam “gegar budaya” dan perubahan budaya kerja yang cukup drastis. Ribuan karyawan dari dua departemen pemerintahan harus digabung secara serentak. Kantor-kantor layanan yang dulu dikenal dengan antrian panjangnya, lingkungan yang tidak ramah dan jam kerja terbatas, tiba-tiba diharapkan menjadi customer-friendly . Dan, semua ini harus diwujudkan dalam jangka waktu lima tahun.

CEO Centrelink, Susan Vardon, mempercayakan tugas berat itu ke Jane Treadwell. Bagi Vardon, Treadwell memang bukan orang asing, karena cukup lama malang melintang di sektor layanan publik Australia. Ia pernah bekerja sama dengan Vardon membenahi pengelolaan lembaga pemasyarakatan di negeri itu, ketika duo ini sama-sama mengemban tugas di Department of Correctional Service.

Uniknya, sebagai eksekutif yang memangku jabatan tertinggi untuk bidang TI, yakni chief information officer (CIO), Treadwell justru sama sekali tidak memiliki latar belakang TI. Namun, apa yang dicari Vardon memang bukan seorang ahli TI, yang sanggup mengutak-atik mainframe dan hal-hal teknis TI lainnya. “Yang kami cari adalah seorang pemikir strategi yang handal,” tegas Vardon.

Menurut dia, Treadwell selalu berpikir ke depan. Ia memroyeksikan setiap konsep mengenai kondisi saat ini untuk kepentingan ke depan. Hal itu memungkinkan dia membuat pilihan solusi yang tepat untuk kepentingan masa kini (maupun ke depan).

Tugas Treadwell memang tidak ringan. Belum lama memangku jabatannya, ia sudah harus menghadapi sikap sinis dari orang-orang yang memandang TI dari paradigma lama. Mereka hawatir akan menyedot banyak dana, layaknya proyek-proyek TI masa lalu. Belum lagi sorotan dari sejumlah kalangan, khususnya para old timers , yang masih memandang peran CIO tidak lebih dari mengurusi masalah teknis daripada strategis.

Hambatan itu belum seberapa ketimbang kondisi publik Australia yang sangat kritis. Hampir segala sesuatu yang berhubungan dengan ranah publik maupun politik tak lepas dari sorotan dan kritikan dari berbagai kalangan masyarakat, khususnya media massa .

Dengan berbagai kesulitan itu Treadwell masih harus meyakinkan Departemen Keuangan Australia bahwa dana sebesar 312 juta dolar Australia (1,5 triliun rupiah) - biaya awal infrastruktur e-business baru - merupakan investasi yang sangat layak dikeluarkan. cio-in/arief


Read more...
0

Revolusi Layanan Publik ala Negeri Kanguru

Dari birokrasi yang berbelit-belit, dengan e-Business, pemerintah Australia berhasil membangun sistem layanan penyaluran dana sosial yang efisien dan berperformansi tinggi. Belakangan ini, kita sering mendengar berita di tanah air mengenai ribut-ribut soal penyaluran dana kompensasi BBM atau BLT (Bantuan Langsung Tunai)yang tak kunjung beres-beres, padahal kenaikan BBM itu sendiri sudah ditetapkan beberapa kali, termasuk yang terakhir kali di bulan Mei 2008 ini. Satu masalah belum selesai, pemerintah kabarnya tak dapat mengelak untuk tidak menaikkan harga jual BBM, mengingat harga jual minyak dunia melambung sangat tinggi dewasa ini.

Alasannya sudah tidak sanggup lagi menanggung beban subsidi yang begitu besar akibat kenaikan harga minyak mentah dunia yang gila-gilaan beberapa bulan belakangan ini. Tak kurang dari 4,65 triliun rupiah dana kompensasi akan digelontorkan ke sekitar 15,5 juta rumah tangga miskin (atau sekitar 60 juta jiwa) pada tahun 2005 ini.

Seperti biasa, masalah transparansi dan akuntabilitas penyaluran dana kompensasi pun kembali menjadi sorotan publik. Selain pemerintah terkesan tergesa-gesa, kebocoran dana kompensasi pun sangat rentan terjadi, karena penyaluran dana ini belum ditunjang sistem yang baik. Administrasi kependudukan yang masih amburadul boleh jadi membuat pemerintah agak kesulitan “menghitung” berapa jumlah penduduk miskin yang layak menerima dana itu.

Terkait dengan penyaluran atau distribusi dana semacam itu, sebenarnya pemerintah bisa belajar banyak pengalaman serupa dari negara lain, misalnya Australia. Meski termasuk negeri maju dan makmur, toh Australia sempat mengalami kesulitan dalam pengelolaan dan penyaluran tunjangan sosial ke warga yang membutuhkannya. Birokrasi yang gemuk, proses yang berbelit-belit dan rivalitas antar badan pemerintah ditengarai sebagai biang keladinya.

Pemerintah Australia pun tidak tinggal diam. Pembenahan dilakukan, layanan-layanan yang terkait dengan kesejahteraan sosial warganya diberikan melalui satu atap. Lembaga baru, Centrelink, pun dibentuk. Centrelink merupakan lembaga publik yang berperan sebagai one-stop shop untuk layanan-layanan social security , tunjangan sosial, fasilitas ketenagakerjaan, bantuan untuk wilayah pedesaan dan terpencil.

Centrelink, kini, menyalurkan pembayaran sebesar 55 miliar dolar Australia untuk 25 badan milik pemerintah dan memiliki lebih dari 1000 kantor perwakilan di seluruh Australia. Centrelink mempekerjakan sekitar 25.000 karyawan, yang melayani kurang lebih 6,5 juta customer , yang meliputi pensiunan, keluarga-keluarga, orang tua tunggal, pengangguran, orang-orang yang menderita cacat sementara atau cacat permanen, pelajar, anak-anak, penduduk asli Australia dan masyarakat dari berbagai latar belakang budaya dan bahasa.

Selain itu, Centrelink memiliki jaringan call-center terbesar kedua di Australia (melayani sekitar 19 juta panggilan per tahun), yang tidak saja melayani kepentingan Centrelink, tetapi juga badan lain yang membutuhkannya. cio-in/arief


Read more...
0

Apa Saja Yang harus Diperhatikan Para Pimpinan

TI terkait dengan semua aspek bisnis perusahaan. Karenanya, tata-pamong TI harus dilihat sama nilai pentingnya dengan standar pengelolaan bisnis. Tata-pamong TI yang efektif mampu menghasilkan keuntungan-keuntungan bisnis yang nyata, misalnya reputasi, kepercayaan, dan pangsa pasar. Juga, menurunkan risiko manajemen. Perkembangan bisnis yang sangat cepat dewasa ini seringkali membutuhkan pengambilan keputusan yang juga cepat, yang berdasarkan pada data penjualan dan kecenderungan pasar. Keputusan-keputusan itu tidak bisa dibuat jika sistem yang menyediakan data dan informasi tersebut tidak berjalan baik.

Tata-pamong TI, biasanya, terjadi pada berbagai tingkat di dalam organisasi. Pemimpin-pemimpin tim menerima arahan dari manajer; manajer melaporkannya ke eksekutif; dan eksekutif (misalnya CIO) melapor ke dewan (direksi). Jelas rangkaian ini tidak akan berjalan efektif tanpa penyelarasan yang baik antara tujuan-tujuan TI dan arahan dewan.

Karena tata-pamong TI merupakan bagian dari suatu kerangka tata-pamong perusahaan, hal itu harus dimulai dengan dukungan pada tingkat dewan. Prinsip-Prinsip tata-pamong perusahaan telah dipublikasikan oleh “The Organisation for Economic Co-operation and Development” yang mencakup tentang hak, peraturan, dan perlakuan yang adil terhadap pemegang saham, terbuka, dan transparan, serta tanggung jawab dewan. (kunjungi: http://www.itgi.org/).

Di antara tanggung jawab dewan adalah menelaah (review) dan mengarahkan strategi perusahaan, penyusunan dan pengawasan pencapaian sasaran kinerja, dan memastikan keterpaduan sistem-sistem perusahaan. Guna menyediakan tata-pamong TI yang tepat, dewan harus memastikan bahwa departemen TI benar-benar sejalan dengan tujuan-tujuan perusahaan.

Tujuan-tujuan perusahaan harus dinyatakan dengan jelas, dan TI harus ikut berbagi visi dengannya. Harapan-harapan departemen TI harus dikomunikasikan dengan jelas, termasuk dampak TI terhadap profitabilitas, pangsa pasar, dan kualitas layanannya. Tujuan tersebut harus disusun dan tanggung jawabnya harus dinyatakan secara jelas.

Semua unit-unit bisnis harus merasa memiliki dan bertanggung jawab untuk mencapai tujuan bisnis dan TI juga harus ikut berbagi bersama mereka. Departemen TI harus membantu unit-unit bisnis lain dalam menentukan sistem bisnis apa yang dibutuhkan untuk menyelesaikan dan mencapai tujuan mereka, serta teknologi seperti apa yang akan digunakan untuk mencapai hal tersebut. Juga, melatih seluruh anggota tim dalam suatu pelaksanaan unit bisnis. Tanpa pengetahuan yang tepat, TI tak akan dapat membuat rekomendasi yang tepat.

Begitu tujuan telah ditetapkan, pematauan yang terus menerus dan upaya-upaya peningkatan sangat penting dilakukan. Tujuan yang jelas akan memberi arah yang juga jelas. Tindakan-tindakan TI yang dilakukan harus didasarkan pada tujuan-tujuan yang jelas tadi. Pada akhirnya, kinerjanya harus diukur dan dibandingkan dengan alat ukut keberhasilan yang tepat.

Bandingkan hasil yang telah dicapai sebelumnya dan membuat penyesuaian dalam kaitannya dengan tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Penyesuaian apapun yang dibuat untuk memberi hasil yang lebih baik, tentu akan memberi keberhasilan yang lebih baik. Perhatikan bagan di bawah ini yang menunjukkan suatu kerangka peningkatan yang berkelanjutan.

Penyesuaian Terhadap Standar
Sebagai tambahan, terdapat kemunculan standar-standar dan garis petunjuk lainnya. Asosiasi Audit Sistem Informasi dan Kontrol (Information Systems Audit and Control Association) telah menerbitkan standar Control Objectives for Information and Related Technology (COBIT). COBIT dalam edisi ketiganya berisi 34 kontrol tujuan tingkat tinggi dan 318 tujuan kontrol rinci yang dirancang untuk membantu perusahaan menjaga pengendalian TI yang efektif.

ISO 17799 yang dikeluarkan oleh Organisasi Standar Internasional berjudul “Information Technology–Code of Practice for Information Security Management.” Standar ini fokus pada keamanan dan memberikan tuntunan untuk menciptakan rencana keamanan TI yang efektif.

Standar ketiga adalah dari Information Technology Infrastructure Library. Hal ini dirancang untuk mengidentifikasi best practices dan mengatur tingkat-tingkat layanan.

Ketiga standar yang berbeda ini, dengan COBIT yang kuat dalam pengukuran dan kontrol, ISO 17799 mencakup keamanan, dan fokus pada proses. Tentu saja perusahaan-perusahaan lain telah membuat metoda pengendalian TI. Namun, standar-standar ini memberi kerangka kerja yang sudah ada dan telah dipraktikkan pada perusahaan-perusahaan besar. Karenanya, tidaklah perlu menciptakan yang baru. Pahami standar ini dan aplikasikan apa yang dipandang cocok bagi perusahaan Anda.

Tata-pamong TI yang tepat dapat memastikan bahwa kinerja TI sejalan dengan tujuan organisasi dan unit-unit bisnis didorong untuk mencapai tujuan bisnis, memastikan bahwa sumber-sumber TI telah digunakan secara tepat, dan sekaligus membantu manajemen dalam memperkecil risiko. Alex B/Insa


Read more...