CIO, COO dan CEO Di Tengah Pergeseran Peran

Masuknya peran CIO lebih dalam ke ranah bisnis tentunya membawa konsekuensi tersendiri. Seperti diungkapkan Nathan Bennett, profesor manajemen di Georgia Tech’s College of Management, bukan tidak mungkin pergeseran CIO menimbulkan benturan-benturan dengan peran eksekutif lainnya, khususnya dengan yang bertanggung jawab terhadap operasional perusahaan, seperti chief operating officer (COO) atau jabatan yang sejenis dengannya. Suatu hal yang mungkin luput dari perhatian perusahaan.

Menurut Bennett, ada beberapa tren yang mengaburkan batas-batas tradisional antara posisi CIO dan COO. Yang pertama adalah posisi CIO itu sendiri di perusahaan yang melihat teknologi sebagai cara untuk memberikan keunggulan kompetitif, bukan melihatnya sebagai cost of doing business semata. Konsekuensinya, senada dengan yang dikatakan laporan Gartner, CIO pun diminta untuk memainkan peran yang lebih fokus ke masalah-masalah eksternal

Di masa lalu, CIO memegang posisi di back-office yang memokuskan dirinya untuk bagaimana membangun infrastruktur TI perusahaan. Kini, hampir sebagian besar fungsi-fungsi TI back-office sudah bisa dialihdayakan, sehingga CIO pun memiliki keleluasaan mengalihkan energinya untuk aktifitas-aktifitas yang lebih strategis.

Pada tahap ini, CIO pun harus lebih tampil ke luar dan mulai mempertimbangkan berbagai kemungkinan memanfaatkan kapabilitas teknologi untuk menumbuhkan bisnis. Dalam situasi ini, CIO tidak lagi dipandang sebagai teknolog yang berkomunikasi dengan bahasa teknologi ke teknolog lainnya, tapi lebih dipandang sebagai partner maupun leader di dalam bisnis.

Namun, pergeseran fungsi seperti ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih dengan tugas COO. Selama ini, seorang COO selalu dipandang sebagai eksekutif yang bertanggung jawab terhadap operasional sehari-hari sebuah perusahaan. Meski secara rinci tugasnya bervariasi, tergantung dari jenis perusahaan dan industrinya, umumnya mereka memiliki penekanan pada pengeksekusian strategi perusahaan, mengelola operasional dengan efisien dan menindaklanjuti peluang-peluang bisnis. ”Ketika tiga hal ini semakin banyak tercapai dengan bantuan TI, semakin tinggi potensi tumpang tindihnya,” ujarnya.

Untuk menghindari hal itu, menurut Bennett, ada beberapa hal yang perlu menjadi pertimbangan perusahaan. Yang pertama, apakah peran CIO di perusahaan sudah berubah? Menurutnya, peran CIO dewasa ini sudah cukup banyak berubah dibandingkan satu dekade atau bahkan lima tahun lalu. TI tidak lagi sebagai pelayan unit bisnis lainnya, tapi sudah menjadi growth enabler, yang memberikan kontribusi positif pada pendapatan perusahaan.

Untuk memperoleh manfaat finansial dari kapabilitas teknologinya, divisi TI sebuah perusahaan harus lebih berpikir ke depan ketimbang divisi TI di masa lalu. Perusahaan-perusahaan saat ini mengharapkan CIO-nya untuk terus mencari teknologi yang bisa digunakan sebagai perangkat masa depan untuk memberikan keunggulan kompetitif bagi perusahaannya. Dalam hal ini, misi dari sebuah divisi TI menjadi lebih keluar dan strategis.

Ketika sebuah perusahaan memandang TI sebagai sesuatu yang strategis, mereka pun membutuhkan kehadiran seorang CIO dengan skill, pengetahuan dan kemampuan yang berbeda.

”Memiliki kompetensi teknik saja tidak mencukupi, atau bukan lagi menjadi satu-satunya ukuran. CIO dituntut menjadi seorang pemikir strategi, dan tentunya memiliki pemahaman luas dalam bisnis dan iklim persaingan. Selain itu, CIO pun perlu memiliki kapabilitas organisasional dan keluwesan dalam hubungan interpersonal,” kata Bennett.

Yang kedua, apakah CIO memiliki apa yang ia butuhkan untuk mengembangkan posisinya? Adalah hal yang biasa ketika karir seorang CIO dinilai berdasarkan kelihaian teknisnya. Namun, sejalan dengan perubahan peran CIO, para teknolog di perusahaan pun memiliki peluang untuk naik atau berpindah jabatan yang lebih membutuhkan kemampuan manajerial. Tantangannya, mereka pun harus mempelajari skill yang berbeda dibandingkan dengan skill yang dibutuhkan pada peran lamanya.

Ketika semakin banyak proses-proses teknis dialihdayakan ke luar, CIO pun tetap harus memiliki kemampuan untuk mengelola proses itu mencapai sasaran biaya dan efisiensinya, sekaligus pada saat yang sama membantu pertumbuhan bisnis perusahaan. Ketika keahlian teknis menjadi sesuatu yang umum dimiliki para manajer, maka tak heran bila perusahaan perlu mempertimbangkan seseorang dengan pengalaman kepemimpinan (leadership) yang lebih dalam. Dalam hal ini, seorang eksekutif yang berpengalaman dalam operasional perusahaan mungkin lebih cocok menduduki jabatan CIO.

Hal ketiga yang perlu dipertanyakan adalah bagaimana struktur peran CIO dan eksekutif operasional atau COO? Dulu, di banyak perusahaan, hirarkinya sederhana. Seorang CIO atau jabatan yang setara dengan CIO melapor ke COO dan peran TI kebanyakan sebagai pendukung operasional perusahaan.

Namun, ketika perusahaan mencari keunggulan kompetitif lebih besar melalui TI, hubungan CIO-COO dapat berkembang ke suatu keadaan, dimana sulit untuk membedakan dan memisahkan kedua peran itu. Seperti dikatakan di atas, semakin perusahaan memandang strategis TI-nya, semakin besar peluang terjadinya tumpang tindih antara kedua jabatan itu.

Untuk menghindari hal ini, Bennett menyarankan agar perusahaan membuat struktur kepemimpinannya konsisten dengan apa yang mereka harapkan dari TI. Ketika TI dipandang sebagai peran pendukung dari bisnis, hirarki CIO melapor ke COO bisa dipertahankan.

Namun, ketika perusahaan mengharapkan TI berperan lebih strategis dan memberikan kontribusi kepada bottom line perusahaan, perusahaan perlu mengelola hubungan antara kedua posisi ini dengan hati-hati. Dalam konteks ini pula menurut Bennett, perusahaan harus berhati-hati karena redundansi dalam peran eksekutif pun bisa terjadi.

Hal terakhir yang perlu dipertanyakan adalah apakah perusahaan memungkinkan memberi peluang CIO untuk menjadi CEO? Ketika CIO mengalami perubahan peran yang menjadikannya sekutu dan penasihat terpenting bagi CEO, bukan tak mungkin jabatan ini muncul sebagai sumber talenta kepemimpinan sebuah perusahaan di kemudian hari.

Bennett mengungkapkan beberapa contoh CIO yang naik pangkat ke jabatan CEO. Misalnya saja Kevin Turner, mantan CIO Wal-Mart yang menjadi presiden dan CEO Sam’s Club, jaringan outlet milik Wal-Mart, sebelum akhirnya Microsoft meminangnya menjadi COO pada Agustus tahun lalu.

Turner bukan satu-satunya ’alumni’ CIO Wal-Mart yang sukses meraih jabatan CEO, karena Bob Martin, sebelum menjabat CEO divisi internasional Wal-Mart juga pernah mengenyam posisi sebagai CIO di Wal-Mart.

Namun demikian, Bennett juga mengatakan umumnya COO lebih umum melompat ke jabatan CEO, khususnya di dalam grup perusahaan yang sama, seperti yang terjadi di CarMax, Nokia, Sun Microsystem dan Tyson Foods.

Ia mengungkapkan, dalam sebuah riset yang dilakukan Yan Anthea Zhang, profesor manajemen dari Rice University dan Nandini Rajagopalan, profesor di Marshall School of Business memperlihatkan bahwa CEO yang berasal dari posisi COO memiliki performa lebih baik ketimbang eksekutif yang memiliki pengalaman di wilayah fungsional lebih sempit.

Lalu, ketika dewan perusahaan dan CIO merencanakan suatu suksesi kepemimpinan, bagaimana mereka seharusnya memandang posisi CIO? Sekali lagi Bennett menegaskan bahwa jika peran CIO lebih sempit dan ’terasing’ di back-office, maka jawabannya adalah tidak.

Namun, ketika peran CIO berevolusi menjadi sebuah peran yang membutuhkan pengambilan keputusan strategis, memahami bagaimana ia bisa berkontribusi positif pada bottom-line, dan memiliki skill interpersonal yang tinggi, bukan tidak mungkin seorang CIO pun siap menduduki tahta CEO. gartner/optmg/aa

0 comments: